Essay ini saya buat secara gugup dan tergesa-gesa. Tapi alhamdulillah bisa mengantarkan saya menjadi Best Delegation pada acara Santri Writer Summit sehingga berhak mendapatkan tiket PP Singapura.
Karena banyak yang menanyakan saya unggah essay ini. Semoga bermanfaat dan berkah.
![]() |
Menjadi Best Delegation pada acara Santri Writer Summit di Jakarta |
“Islam di indonesia merupakan sebuah realitas yang tak lagi bisa diabaikan. Gelombang kebangkitan kembali islam telah menerpa negri itu sepanjang dua dekade terakhir sehingga semakin sulit untuk menyebut islam sebagai sebuah kekuatan marginal yang berada ditepi peradaban Indonesia.”
Mark R Woodward
Indonesia tanpa pesantren adalah sebuah ode tanpa narasi. Sejarah keterlibatan pesantren dalam perjuangan nasional yang sempat dipinggirkan oleh sejarah kolonial adalah sebuah diorama tanpa warna. Diorama yang hanya membuat sejarah itu makin buram, karena subjektifitas situasi yang memaksa sejarah harus memilih subyektifitas kepentingan dibandingkan obyektifitasnya sendiri. Indonesia tanpa pesantren adalah diorama kering tanpa warna yang akan membuat bangsa Indonesia hilang ke-jatidiri-an ke-indonesia-annya yang telah dibentuk dalam berbagai fase kebudayaan religio-politik semenjak berabad abad lampau. Kebudayaan itu tanpa pesantren niscaya hilang dengan mudah karena kolonialisme penjajah. Yang berusaha menanamkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, menjadikannya sebagai subordinat stratum,dengan kuasanya mencoba memberikan pengaruh agar masyarakat dengan kebudayaan plural dan telah siap maju ini, hanya menjadi satu bentuk tiruan (mimicry) dari kebudayaan barat. Upaya pembaratan ini merupakan bentuk hegemoni kuasa kolonial agar dapat mencapai borjuasinya sendiri tanpa memikirkan nasib bangsa yang wilayah kolonialnya.
Walaupun sampai kini, masih banyak yang mengasumsikan pesantren dengan lembaga kuno, kolot, antipati terhadap kemajuan bahkan sering dipandang secara negatif dengan istilah kaum sarungan dan berpeci, tentunya kita harus menelisik kembali historitas pesantren . Meneliti kembali historitas itu bukan berarti kita termanjakan dengan segala kejayaan (glory) yang akan membuat kita berusaha “membuat kembali”(re-create) kejayaan itu persis seperti masa silam(recreate some of it), tapi dengan menelisik kembali akan menjadikan kita lebih reflektif, agar sejarah sebenarnya memang harus diceritakan sebagaimana ada pada dirinya sendiri (das ding an sich). Tetapi dengan tetap mengedepankan proses reflektif . Sejarah keemasan Islam memberikan kita pelajaran dan juga membenarkan pernyataan ilmuwan barat yang mengatakan bahwa “when high performing adult plunges into darkness,the only hope it has to look back at its glory day and try to recreate some of it ”. Yang intinya karena ketidakmampuan menerima fakta secara mengejutkan (shock) mengambil aksi aksi masif tanpa proses reflektif. Maka diorama historitas pesantren harus menjadi sebuah proses reflektif agar dapat dirumuskan kembali dalam bentuknya yang relevan.
Historitas Pesantren
Pesantren adalah sebuah lembaga keagamaan yang memiliki akar dalam di Nusantara. Pesantren atau pondok pesantren sendiri berasal dari bahsa sansekerta yang berarti sekolah agama atau semacam lembaga kependetaan (clerick) di masyarakat Hindu-Budha. Sampai Islam masuk pada abad 13 Masehi, mula mula melalui hubungan dagang dan ekonomi. Karena hubungan dagang dan ekonomi dulunya hanya bisa dicapai melalui jalur laut, maka penyebararan (diseminasi) islam dapat kita runut melalu pantai-pantai Jawa di sebelah utara. Karena jalur perdagangan internasional dulunya dicapai melaui laut, maka secara otomtis interaksi-interaksi kosmopolitan terjadi di daerah pesisir utara. Sejalan dengan itu, “pesantren awal” tumbuh dan berkembang dekat dengan pusat pusat perdagangan atau mengikuti jalur pantai utara yang memiliki watak kosmopolit. Tapi interaksi interaksi yang terjadi tidaklah stagnan, pada awalnya hubungan itu bersifat ekonomi dan dagang, kemudian disusul hubungan politik keagamaan dan untuk selanjutnya diikuti hubungan intelektual keagamaan (Azra,2013:1). Sehingga berbeda dengan penyebaran di kewasan Timur Tengah yang dilakukan melalui ekspansi (peperangan),penyebaran Islam di Nusantara melalui jalur perdagangan dan sufistik. Sehingga penampilan wajah Islam di Nusantara adalah ramah dan damai. Hal ini menunjukan dua watak dari lembaga pendidikan pesantren : kosmopolit dan adaptif. Sehingga tidak benar juga bahwa Islam pesantren bercirikan sinkretis karena dibawa oleh para pedagang, dan ciri khas kaum pedagang adalah akomodatif dan berusaha menolak konflik sehingga di upayakan bentuk persuasi yang lebih lembut dalam hubungan ke-agamaannya. Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa perubahan polanya akhirnya berubah menjadi hubungan intelektual.
Kemudian pada abad 16 kolonial datang, kolonialisme semakin masif dan menunjukan gerakan colony nya pada dasawarsa awal abad 19. Bahkan sampai abad ke 19, pengetahuan dan institusi pendidikan di Hindia-Belanda(Indonesia imajiner) masih serupa dengan pengetahuan dan institusi pendidikan di kebanyakan sistem religo-politik tradisional di seluruh dunia yakni pendidikan agama. Wilayah-wilayah dimana Islam memiliki pengaruh yang kuat, anak anak dari golongan bangsawan,dari para pedagang muslim dan keluarga taat lainnya dikirim ke sekolah-sekolah tradisional (pesantren,surau,meunasah) atau barangkalai ke pusat-pusat belajar Timur Tengah (Yudi lathif,2013: 79). Sehingga dapat kita nyatakan, sampai pada dasawarsa awal abad 19, pesantren adalah lembaga pendidikan dominan dan lembaga pembentuk strata elit di Indonesia. Karena sampai abad ke 19, koloni masih fokus mempertahankan kuasanya di bidang ekonomi. Oleh karenanya abai terhadap bidang pendidikan pribumi terlebih pada urusan keagamaan pribumi.
Tetapi berbagai pemberontakan yang terjadi di tanah koloni Hindia, yang menurut kolonial, banyak mengambil pandangan-pandangan agama Islam membuat kolonial Belanda mengambil kebijakan. Yakni penetrasi, diskriminasi dan melakukan pegetatan terhadap lembaga lembaga islam dan berbagai kegiatan dakwah para dai muslim. Termasuk membatasi jaringan keilmuan nusantara yang telah memiliki relasi dan historitas dengan jaringan keilmuan Timur Tengah. Sehingga muncul dan berkembang sebuah sikap antipati terhadap agama Islam ini. Institusi institusi pendidikan islam mengalami tekanan yang hebat. Segala gerak gerik keagamaan diawasi secara ketat. Bahkan perdangan pun tidak diperbolehkan. Namun, penetrasi kolonialisme sama sekali tidak menyebabkan lenyapnya sekolah sekolah islam yang ada. Meskipun kontrol Belanda atas berbagai aktivitas ekonomi sepanjang pantai di Kepulauan Hindia telah merusak tiang tiang penyangga sosio-ekonomis dari perkembangan Islam di habitat awalnya (yaitu,di kota kota pelabuhan), namun pusat pusat studi islam masih terus bertahan hidup. Yakni dengan jalan berpindah ke daerah daerah pedalaman, dimana jaringan agraris dari ulama berbasis pesantren dan tarekat sufi ,terutama di jawa,mengambil peranan dalam pengajaran islam (Lombord,1996b:124)
Setelah terjadi kondisi politik yang demikian, para intelektual di negri belanda dengan berbagai motifnya merancang apa yang dinamakan Politik Etis. Salah satu hal paling signifikan pada politik etis ini adalah dibukanya sekolah sekolah eropa di Nusantara. Tujuan utamanya guna mengenalkan lebih dekat kebudayaan eropa dan menyiapkan administratur pemerintah di negara kolonial dari kalangan pribumi. Namun salah satu tujuan yang jarang di ungkap adalah, sebagaimana dinyatakan oleh Snouck Hourgenje, untuk membentuk kelas elit intelektual lain yang nantinya bisa diharapakan dapat menyaingi atau menggantikan peran para pemuka agama sebagai sebuah starta intelegensia yang dominan pada masa itu. Sejak itulah apa yang dinamakan pendidikan sekuler merebak di nusantara terutamanya di Jawa. Politik kolonial berusaha mencoba untuk memutus jaringan islam sedemikian kuat agar kebangkitan agama tidak menjadi kebangkitan kesadaran kaum pribumi yang terjajah. Dan pada saat inilah pesantren-dengan sikap adaptifnya-menoba merumuskan kembali posisinya baik segi religio maupun politiknya di Nusantara.
PESANTREN DAN INTELIGENSIA
Inteligensia berbeda dengan intelektual. Alih-alih hanya sebagai seorang pemikir ide (ideas thinker) inteligensia tampil sebagai sebuah strata tersendiri. Sebuah sub stratum dimana kelompok kelompok itu disatukan atas sebuah cita cita bersama dan kesamaan kutur diantara komunitas inteligenisa. Inteligensia bukanlah produk produk individu atau stratum individu. Inteligensia adalah sebuah kelompok kolektif yang relatif kecil yang memegang atau menjadi standar bagi stratum yang lain pada kepemimmpinan moral dan sikap sikap politik. Mereka memimpin, memimbing dan bersama masyarakat menjadi standard moral di kalangan masyarakat. Oleh karena itu anggota komunitas inteligensia, tanpa memedulikan status pekerjaan dan ekonominya dipersatukan oleh suatu panggilan bersama : mengabdi pada bangsa dan komuitasnya. Sehingga Inteligensia disatukan bukan oleh standar kehidupan dan pendapatan yang bersifat ekonomis maupun oleh kepentingan-kepentingan profesi, namun terutama oleh kesamaan sikap sikap tertentu dan oleh penerimaan terhadap suatu warisan budaya yang lebih luas dari batas batas nasional.(Gell,1976:13)
Sehingga dalam wacana inteligensia indonesia muncul berbagai istilah yang mencerminkan perbedaaan kultur inteligensia karena begitu pluralnya kondisi sosio historis nusantara, semisal inteligensia kristen,inteligensia batak,inteligensia muslim dan lain sebagainya. Dalam inteligensia muslim sendiri sebagaimana paparan pada historitas pesantren muncul 2 komunitas imajiner berdasarkan pengetahuan keagamaan masing masing kelompok yakni intelek ulama yang terbentuk akibat proyek sekularisasi barat dan ulama intelek akibat bertahannya pendidikan islam dari pembaratan yang terjadi.
Inteligensia bukanlah sebuah monopoli bagi satu komunitas. Inteligensia dapat muncul dalam berbaa bentuk dan erbagai kultur kebudayaan yang berbeda. Ineligensia hanya mengandaikan kesamaan pandangan dan cita-cita. Maka sangatlah mungkin muncul berbagai komunitas kolektif inteligensia dari berbagai komunitas yang berbeda. Pun komunitas pesantren. Terlebih pesantren adalah sub-kultur tersendiri. Inteligensia pesantren ini dapat di buktikan dengan berbagai tokoh yang muncul dalam sejarah indonesia yang kalau kita amati memiliki pandangan yang berbeda dengan inteligensia lainnya dan memiliki kesamaan pandangan dengan komunitas pesantren.
Dalam sejarah, pesantren banyak menyumbang inteligensia melalui tokoh tokohnya baik ulama intelek maupun intelek ulama. Kyai Hasyim Asyari,kyai Wahab Hasbulloh, Abdul Wahid dan tokoh pemikir dari kalangan pesantren lainnya. Kita tahu, bahwa dalam upaya kolonial belanda mengambil wacana kuasa, perlu antitesis indigeonus agar kebudayaan tidak mengalami erosi dan kehilangan orientasi. Sejarah kristen eropa termasuk juga belanda yang selalu berusaha mengutuk keras terlibatnya agama dalam berbagai hal dan mengupayakan pemisahan diantara keduanya, tentu tidaklah sesuai dengan kultur Nusantara yang ketimuran. Pemaksaaan pembaratan yang terjadi di Nusantara jika tidak di hadang oleh inteligensia muslim dan khususnya inteligensia pesantren tentulah menjadi amat berbahaya dalam proses menuju pembaratan yang dilakukan oleh kolonial melalui politik wacana kuasanya. Melalui inteligensia muslim jugalah adaptifitas yang terjadi di sekolah-sekolah muslim termasuk pesantren terus terjadi. Fragmentasi pesantren dalam bentuknya menjadi pesantren modern,pesantren salaf, pesantren semi salaf dan lain sebagainya jelas menunjukan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang sangat adaptif. Peran inteligensia inilah sebuah peran strategis pesantren ketika pesantren mengalami diskriminasi dan merubah orientasinya menjadi subaltern guide dan juga menjadai sub altern knowledge.
Tentunya sebuah kemajuan atau modernitas yang tidak berdasarkan nilai nilai luhur yang ditemukan kembai (re-inventing) hanya akan menjadi santapan dari hegemoni kuasa dan menjadikan kebudayaan kita yang plural ini malah diusahakan menjadi satu kebudayaan monolitik yang berusaha me-mimikri-kan atau bahkan menganggap agung semua kedatangan dari barat, seolah olah kebudayaan yang kita miliki hanyalah sebuah kebudayaan yang menjadi subordinasi dari pembaratan yang ada.Tidak memiliki nilai kebanggaan tersendiri.
Maka Generasi Inteligensia Pesantren adalah sebuah generasi kemajuan yang tetap menjaga warisan luhur bangsanya dengan mengambil nafas nafas serta semangat keagamaan islam pesantren yang berwatak kosmopolit dan adaptif, menjaga nilai budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik adalah sebuah upaya kemajuan yang memiliki akar yang kuat menghujam ditanah tapi rantingnya bercabang cabang tinggi menjulang di angkasa. Dan ini tidak lain dan tidak bukan adalah melalui terbentuknya kultur akademis-ilmiah(hub ilm) dan terbentuknya stratum nteligensia pesantren (hub ulama). Inteligensia Pesantren adalah inteligensia berkemajuan yang mengambil pijakannya pda nilai nilai luhur tradisinya.
References
Azra, A. (2013). Jaringan Ulama. Jakarta: Kencana.
Gella, A. (1976a). An Introduction to the sociology of the intelligentsia. London: Sage Publication.
Latif, Y. (2013). Genealogi Inteligensia. Jakarta: kencana.
Lombard, D. (1996b). Nusa Jawa Silang Budaya vol 2. Jakarta: Gramedia.
Title : GENERASI INTELIGENSIA PESANTREN
Description : Essay ini saya buat secara gugup dan tergesa-gesa. Tapi alhamdulillah bisa mengantarkan saya menjadi Best Delegation pada acara Santri ...
Description : Essay ini saya buat secara gugup dan tergesa-gesa. Tapi alhamdulillah bisa mengantarkan saya menjadi Best Delegation pada acara Santri ...
Wah selamat ya essay nya lolos 😄
BalasHapusWah makasih dek. Berlomba-lomba dalam kebaikan.
Hapus