Sidik Nur Toha
Akhir-akhir ini kita diresahkan dengan maraknya isu-isu primordial
yang berkembang dalam kehidupan publik Indonesia. Menjelang Pilpres,
eskalasinya terus naik dan dipermainkan oleh kedua kontestan yang ada. Jika
dahulu kita melihat isu yang mengemuka dalam pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden adalah Jawa dan non-Jawa, Sipil
dan Militer. Hari ini kita disuguhkan pemandangan identitas Islam-non-muslim,
Kristen, China memenuhi diskursus kita hari ini. Lalu bagaimana kita
mempertimbangkan problem ini bagi kemajuan demokrasi kita saat ini dan dimasa
mendatang? Dan apakah politik identitas mendorong kekerasan? Tulisan ini ingin
melakukan elaborasi dengan mengambil titik pijak karya Amartya Sen yang berjudul
Identity and Violence : The Illusion of Destiny
Kita memulai hal ini dari sebuah tesis yang di perkenalkan oleh
Samuel Huntington dalam bukuny The Clash Of Civilization yang meramalkan
akan terjadinya benturan konflik antar peradaban. Benturan itu terjadi di
antara peradaban Islam, Hindu, Barat dan peradaban-peradaban lainnya. Laju
gerak sejarah akan ditentukan oleh konflik antar peradaban yang didasarkan atas
asumsi identitas keagamaan tersebut. Tesis ilmuwan politik Amerika itu kemudian
menjadi masyhur dengan serangan 9/11, muncul terorisme di Eropa, kebangkitan
China dan masih banyak lainnya. Atas dasar pemahaman dunia itu, US melakukan
penyerangan ke Irak dan Afghanistan dan emunculkan sentimen Islamophobia yang
masih ada sampai saat ini. Pendek kata, ‘benturan peradaban’ telah menjadi
legitimasi intelektual untuk serangkaian kekerasan yang didasarkan pada
afiliasi identitas. Tentu banyak kritik atas tesis tersebut. Penulis sendiri
telah melakukan kritik tersebut lebih dari empat halaman dalam tulisan yang
lain. [1]
Memahami Identitas
Manusia hidup dengan beragam identitas yang melekat. Hal itu alami
saja karena pertemuan manusia dengan ragam sejarah, komunitas dan perbedaannya.
Sebagai contoh seorang bernama Khoer adalah laki-laki Indonesia, yang beragama
Islam, lahir dan besar di desa, penggemar musik keroncong dan merupakan seorang
buruh pabrik dengan gaji yang kecil. Tentu Vanessa yang merupakan perempuan
Indonesia, beragama Kristen, lahir dan besar di kota, menggemari musik jazz dan
mahasiswa di sebuah Universitas favorit di negri ini. Deskripsi sederhana
tersebut membuat kita bisa membedakan identitass dua orang tersebut sungguh
sangat-ssangat berbeda. Dan dalam satu pribadi manusia, terdapat sekian banyak
identitas yang melekat ada. Untuk menuntaskan hal ini, kita bisa menambah
deskripsi bernama Sidik, seorang buruh pabrik dan mahasiswa part-time di
Universitas favorit juga. Sidik tentunya memiliki kesamaan identitas dengan
Ahmad sebagai buruh pabrik dan dengan Vanessa sebagai sesama mahasiswa di
Universitas favorit juga. Lalu apa yang salah dengan identitas tersebut?
Problem itu tampak sangat sederhana. Tetapi akan menjadi rumit ketika
kita masuk kasus. Contoh semisal adalah kasus pemindahan makam Salib di
Yogyakarta. Pemindahan itu didasari karena pihak keluarga tidak mau memotong
tanda salib dan pihak keluarga tidak mampu mambayar pembiayaan makan di
pemakaman warga Kristen. Sehingga terpaksa dimakamkan di TPU yang mayoritas
muslim. Menilik hal itu, tentu mayat dan pihak keluarga merupakan kalangan
menengah ke bawah. Dimana sebagian besar masyarakat muslim Jogja juga berasal
dari kalangan menengah ke bawah. Tapi, identitas tersebut kalah dengan
identitasnya sebagai seroang Kristen. Sehingga seolah-olah, identitas dalam
posisi itu hanya ada dua : muslim dan Kristen, tanpa melihat kompleksnya faktor
lain yang ada.
Dalam pemahaman yang terkahir, kompleksitass identitas kita di
reduksi hanya menjadi bagian A yang bukan B. Reduksi semacam itu tentunya
berbahaya, karena secara instingtif kita akan melihat B sebagai orang lain bagi
A tanpa melihat dan memahami kompleksitas yang ada. Pada wujudnya, pemahaman
singularitas dan reduksi identitas tersebut bakal menjerumus pada perilaku
sektarian yang ada. Perilaku reduksionis tersebut menggiring kita pada
ketiadaan pilihan alternatif dari variasi identitas.
Padahal, seseorang hidup dalam karakter dan konteks sosial yang
berbeda-beda tiap individunya. Ia bisa saja mungkin adalah seorang vegetarian,
jawa, buruh pabrik dan lain sebagainya. Perbedaan karakter dan konteks sosial
tersebut memiliki identitas yang potensial untuk dipakai. Dua hal setidaknya
yang berbeda tetapi saling berhubungan adalah 1. Memutuskan identitas mana yang
relevant bagi kita 2. Menimbang kepentingan relativ dari perbedaan identitas
yang ada. Kedua hal itu menuntut sesuatu yang penting bagi ‘kewarasan’ kita
sebagai manusia : rasionalitas dan pilihan (reason and choice)[2]
Penafian rasionalitas dan pilihan itu menimbulkan seseorang
terjebak dalam singularitas ragam identitas dan kemungkinan pilihan alternatif
sesuai dengan tingkat kepentingan relatifnya. Pilihan relatif itu tentu saja
tergantung sesuai konteks kebutuhan afiliasi individu tersebut.[3]
Contoh sederhana yang sering mengemuka di publik adalah pilihan seseroang
menjadi Indonesia atau menjadi Muslim. Dalam pilihan seroang reduksionis,
identitas seorang muslim (atau secara serampangan istilah Muslim kaffah)
menafikan kemungkin identitas menjadi seorang Indonesia. Begitu pula
sebaliknya. Kemungkinan pilihan alternatifnya dinafikan. Sehingga dalam kondisi
dilema dan tegangan kepentingan diantara dua identitas, seseorang tidak
dimungkinkan memilih kepentingan relatif dari dua identitas yang ada. Apalagi
melakukan prioritas pilihan dalam kompleksitas kehidupan yang ada. Hal ini
pernah terjadi Mahatma Gandhi ketika ditanya”apakah ia ingin melepas jabatannya
sebagai pengacara di Inggris atau mau mengkhianati negrinya (dengan tetap
menjadi pengacara di Inggris)?” Gandhi menjawab : Jika saya diharuskan memilih
berkhianat pada negara atau teman (dalam jabatan) saya, saya harap saya punya
keberanian untuk mengkhianai negri saya”
Kekerasan dan Identitas
Be aware on politic of partition based on identity![4]
Hal itu diingatkan oleh Amartya Sen dalam sebuah diskusi publik di
LSE Inggris untuk menggambarkan betapa bahayanya bermain politik partisan
dengan isu identitas. Eskalasi kekerasa dikarenakan identitas terus terjadi di
berbagai lokasi. Kerusuhan Hindu-Muslim di India pada tahun 1947 yang
menyebabkan ribuan orang baik dari Islam atau Hindu terbunuh, India pecah
menjadi Pakistan, setelah itu konflik sesama Muslim yang menyebabkan Pakistan
pecah menjadi Bangladesh, kekerasan Syiah-Sunni yang terjadi di Irak, friksi
Barat-Anti Barat yang menjadi pra-kondisi dari problem terorisme global di
dunia, konflik antara Suku Hutu dan Tamil di India, Yahudi-Islam-Kristen,
konflik perbatasan Israel-Palestina rasisme kulit putih-hitam di Inggris dan
akan masih banyak lagi jika kita urut dan tuliskan semuanya disini.
Ilusi tentang identitas yng tunggal menjadi alasan bagi
kelompok-kelompok tersebut untuk mendalangi konfrontasi. Dalam beberapa hajat
elektoral, identitas ini tentu di eksploitasi demi kepentingan elektoral.
Adalah hal yang sangat naif sebenarnya (dari sudut pandang penulis sendiri
misalnya) melihat identita soliteris dan tunggal itu digunakan untuk
mengorbankan kekerasan. Sementara afiliasi-afiliasi serta asosiasi-asosiasi
lainnya yang nyata-nyata majemuk diabaikan.
Hal ini mungkin bisa dijelaskan pada kecenderungan fragmentasi yang
simplifikasi. Kecenderungan fragmentaris ini memperkuat kecenderungan pemilahan
“us” dan “them” tanpa mau melihat kompleksitas masalah yang ada. Sayangnya hal
ini seringkali diperkuat oleh teori-teori besar yang canggih dan juga
menyesatkan. Teori yang seringkali dipakai untuk menjelaskan konteks sosial,
tanpa disadari juga menjadi acuan bagi kebijakan, cara pandang realitas yang
ada. Tentu ada sekian banyak, tapi Samuel Huntington tentang Benturan Peradaban
menjadi contoh yang selalu di kritik oleh Sen. Klasifikasi peradaban yang akan
mendatangkan konflik masa mendatang di dunia didasarkan atas benturan antara
peradaban Barat-Islam-Hindu-China. Simplifikasi ini jelas salah dan berbahaya. [5]
Sebagai contoh sederhana, India yang seringkali diklasifikasikan
sebagai ‘peradaban Hindu’ tentu mengeliminasi banyak fakta lain. Fakta bahwa
ada 145 juta warga Inda yang Muslim. Sebuah jumlah yang melebihi beberapa negara-negara
Timur Tengah jika digabungkan, kecuali Indonesia. Fakta bahwa ada pengantu
Jain, Sikh yang secara teologis, sosiologi dan kebudayaanya tentu tidak sama
dengan India. Fakta ada penganut Kristen, Parsi dan lain sebagainya. Di satu
sisi, hal itu juga mengabaikan interkoneksi ekstensif warga India melalui
keterlibatan dalam bidang sosial, politik, kesenian,, musik dan lain-lain.
Simplifikasi ini seolah ingin menegaskan satu identitas per orang berdasarkan
anggota komunitasnya an mengabaikan kompleksitas manusia.
Lalu bagaimana identitas bisa menjadi sebuah mesin pembunuh, hal
itu amat sangat mudah. Dan pasti terjadi meski dalam jangka waktu yang lumayan.
Yang perlu diperbuat sederahana 1. Mengabaikan makna penting seluruh asosiasi
dan ailiasi lainnya (kamu abaikan kamu sebagai buruh, ekonom tapi yang penting
kamu islam) 2. Merumuskan ulang tuntutan-tuntutan yang dikehendaki oleh identitas
tunggal tersebut dalam wujudnya yang agresif dan penuh permusuhan.
Kasus India menunjukan butuh waktu puluhan tahun sampai pecah
konflik yang amat brutal karena politik identitas. Padahal mencintai orang saja
begitu susah bagi kita, namun membenci-ternyata ada seninya tersendiri.
[1] Lihat
Samuel Huntington, The Clash of Civilization.
[2] Untuk
memahami pembagian ini lihat Amarta Sen, Identity and Violence: The Illusion of Destiny
[3] Terkait
dengan signifkansi relatif ini lihat Amartya Sen, Identity and Violence: The Illusion of Destiny
[4] https://blogs.lse.ac.uk/southasia/2015/11/21/in-conversation-with-amartya-sen-critical-reflections-on-identity-and-development/.
[5] Untuk hal
ini pernah aku ulas dalam hampir 3 halaman.
Title : Kenapa kita harus melawan Politik Identitas
Description : Sidik Nur Toha Akhir-akhir ini kita diresahkan dengan maraknya isu-isu primordial yang berkembang dalam kehidupan publik Indonesia. M...
Description : Sidik Nur Toha Akhir-akhir ini kita diresahkan dengan maraknya isu-isu primordial yang berkembang dalam kehidupan publik Indonesia. M...
0 Response to "Kenapa kita harus melawan Politik Identitas "
Posting Komentar