Sidik Nur Toha
Ini mungkin isu lama, tetapi jarang diperdebatkan akhir akhir ini. Bagaimana
hubungan antara Pancasila dengan Islam. Isu ini muncul dan tenggelam seiring
dengan naik-turunnya tensi hubungan antara Islam dan politik elektoral. Hal ini
mungkin saja dinilai sebagai isu yang sensitif, alasannya sederhana saja : karena
membuka kembali memori kolektif Islam dalam Piagam Jakarta dan sebagai mayoritas
di republik yang baru berdiri pada tahun 1945. Apakah Islam mendukung Pancasila
atau sebaliknya (?). Ingatan kolektif itu kini disuarakan lagi seiring munculnya
gerakan-gerakan populis Islam dalam aksi-aksi nomor cantik mulai dari aksi 411,
aksi 212 dan berbagai aksi lainnya. Berbagai ceramah yang kemudian berkembang
seperti diwakili ceramah Habib Rizieq yang memahami bahwa Pancasila ‘harus
dipahami dalam lingkup dan kaitannya dengan Islam’. Atau dalam ceramah lain
yang menyebut ‘ketuhanan’ berada di ‘pantat’ untuk mengelaborasi Pancasilanya
Soekarno. Dan sederet kasus lainnya yang terlalu panjang untuk diungkap disini.
Penulis sebut beberapa, pembubaran HTI, pembentukan BPIP dan menguatnya politik
identitas di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menjadi momen ikonik
yang secara samar dan sadar membuka endapan itu. Tulisan ini ingin sekedar
memotret dilema hubungan antara keduanya.
Pertama, tidaklah bisa dipungkiri sebuah fakta bahwa mayoritas
penduduk Indonesia merupakan pemeluk agama Islam. Bahkan dengan jumlah populasi
yang amat begitu besar di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai jumlah
pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Fakta ini berkelindan erat dengan
politik-demokrasi kita. Kenyataan lain menambahkan, bahwa di Indonesia pernah
berdiri, jauh sebelum Indonesia mengenal sistem republik atau sistem negara-bangsa
ala Eropa seperti saat ini, kerajaan-kerajaan besar yang bernuansa Islam.
Kerajaan Demak, Kerajaan Aceh dan berbagai kerajaan lainnya. Bahwa Indonesia
yang baru lahir itu terdiri dari berbagai suku dan agama tidak bisa di nafikan,
tetapi kenyataan bahwa Islam sebagai agama mayoritas pun adalah fakta lainnya
yang penting. Monumen peristiwa itu termaktub dalam sejarah sila pertama Piagam
Jakarta: menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya.
Obsesi untuk menghidupkan kembali
Piagam Jakarta tidak bisa hilang dari endapan kesadaran kolektif bangsa
Indonesia. Obsesi itu bisa kita lihat dari pemaknaan Pancasila pada tumpuan
sila pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa. Ketuhanan yang Maha Esa, lebih sering
dimaknai sebagai Ketuhanan yang bercirikan monoteisme ala Islam. Padahal jika
merujuk pada pemahaman Soekarno di sidang BPUPKI, bahwa Pancasila adalah digali
dari rahimnya Indonesia. Islam baru datang ketika, semenjak lama Nusantara
mengenal agama yang dicirikan kini sebagai ‘kearifan lokal’. Memang semenjak
kapan agama-agama resmi yang berumat dan diakui negara itu dipahami sebagai
agama asli Nusantara?. Disini soal lain kemudian muncul. Turunan persoalan dari
problem epistemik ini adalah perasaan mayoritarianisme dan intoleransi terhadap
kepercayaan lokal maupun kelompok minoritas yang dianggap tidak berketuhanan ‘yang
maha esa’.
Obsesi itu tetap reda pada awal Pancasila diikrarkan sebagai
konsensus. Sebabnya adalah ‘kebesaran hati’ wakil-wakil Islam. Dalam hal ini,
orang yang menyadari betul bukanlah Soekarno ‘sang penggali Pancasila’, yang
disebut menempatkan ketuhanan di ‘pantat’. Hatta lah yang pada hari-hari awal
kemerdekaan mengumpulkan wakil-wakil Islam itu. Padahal Hatta adalah penganut
‘negara persatuan nasional (bukan negara Islam) dimana urusan negara dan urusan
agama Islam dipisahkan’. Hanya dengan ‘kebesaran hati’ dan demi ‘persatuan
nasional’, sila ketuhanan yang maha esa itu diterima. Tapi soal obsesi itu
tetap memainkan peranan penting dalam politik transaksional di Indonesia. Sebab
statistika umat Islam adalah kenyataan strategis.
Politik identitas tak bisa dinafikan memang karena alasan ia
dijamin oleh konstitusi. Dan sejarah ‘kebesaran hati’ itu juga diganjar oleh
negara dalam bentuk fasilitas politik identitas agama melalui institusi publik.
Kementrian Agama, Majlis Ulama Indonesia, perda syariah, ‘forum umat-umat
beragama’ dan yang lainnya. Belum dalam bentuk aspirasi kultural melalui
organisasi masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Perti dan yang lain.
Ide tentang NKRI Bersyariah vis a vis NKRI Harga Mati itu harusnya bertentangan
secara epistemik. Dengan alasan elektoral lah, ide-ide itu tak pernah
bertentangan di ruang publik. Dalam hal yang terkakhir, Pancasila akan
diposisikan dalam kebingungan yang mendasar, apakah ia sekuler atau religius?
Tafsir akan mengemuka dengan mengambil posisinya masing masing. Yang secara
satire akan membuat Pancasila didefinisikan sebagai ‘bukan ini-bukan itu (not-neither
yet)’
Sebuah ideologi butuh basis kultural guna tetap memperkuat
legitimasinya. Dalam hal ini, berbagai usaha dilakukan oleh organisasi
kemasyarakatan Islam sepert NU dan Muhammadiyah. Usahanya dicirikan untuk
memberi justifikasi bahwa Pancasila adalah ‘sangat Islam’. Pancasila dikatakan
sebagai “Ahd wal Musyahadah” atau “sepadan dengan Piagam Madinah”. Tapi
soalnya, usaha itu jelas tak bisa menafikan bahwa pada dasarnya perumusan
Pancasila berasal dari para cendekia Indonesia yang belajar di sistim
pendidikan Eropa. Jejak itu terangkum dalam historis perumusannya. Soepomo
misal yang mengusulkan Negara Integralistik ‘sebuah organisme hidup berdasarkan
persamaan darah dan daerah (Blut und Boden..) antara pemimpin dan
rakyat’ jelas merupakan konsepsi ala para pemikir geopolitik Jerman. Peri kebangsaan
jelas yang dimaksudkan adalah nasionalisme yang dikenal melalui perjanjian
Westhpalian dan melahirkan sistem negara-bangsa. Islam sendiri pada kala itu mengenal
konsepsi Ummah, bukan wilayah teritori berdaulat seperti negara-bangsa. Peri
kerakyatan yang disampaikan Yamin atau Soekarno, atau dalam bahasa lain
daulat rakyat, tak bisa dipungkiri itu semacam kedaulatan yang diinspirasi oleh
revolusi Perancis. Dilihat dari sisi ini, penjelasan Pancasila sangat Islami
dirasa mengabaikan nuansa historis perumusannya, disisi lain seperti memasukan
satu kategori kedalam kategori lainnya yang belum tentu pas.
Pada kesimpulannya, penulis kemudian mengamini bahwa dilema
hubungan Pancasila dan Islam harus berhenti didiskusikan bukan karena alasan
karena ‘tidak ada masalah’. Tetapi karena alasan politiknya. Politik adalah
ruang anarki dan ruang tentang ‘seni yang memungkinkan’. Disisi lain, pancasila
diajarkan diruang-ruang akademik sebagai sebuah doktrin. Mengutip istilah
Dakhidae, solipsisme: diajarkan untuk diyakini kebenaran dalam dirinya sendiri.
Memori kolektif dan fakta sebagai mayoritas akan tetap sulit untuk
dihilangkan. Terlebih dengan semakin
menguatnya problem identitas disemua belahan negara. Dilema ke Indonesiaan dan
ke Islaman akan terus mencuat ketika menjelang event elektoral karena ia
dihentikan diskusinya. Dan sayangnya pemberhentian itu bisa saja akan menemukan
tempatnya dalam diskusi-diskusi jalanan.
Title : Pancasila, Islam dan Hal-Hal Sakral
Description : Sidik Nur Toha Ini mungkin isu lama, tetapi jarang diperdebatkan akhir akhir ini. Bagaimana hubungan antara Pancasila dengan Islam....
Description : Sidik Nur Toha Ini mungkin isu lama, tetapi jarang diperdebatkan akhir akhir ini. Bagaimana hubungan antara Pancasila dengan Islam....
0 Response to "Pancasila, Islam dan Hal-Hal Sakral"
Posting Komentar