Sidik Nur Toha
Akhir-akhir ini dalam diskusi kita menjelang pemilu, muncul
selebriti-selebriti inteleketual yang mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia
berada dalam satu tahap menuju otoritarianisme. Yang dicontohkan adalah
pembubaran HTI sebagai ormas radikal, perlindungan kepada kaum minoritas dan
masih banyak lain lagi dengan menggunakan indeks parameter demokrasi Indonesia
yang turun. Demokrasi selalu
diperdebatkan karena menyangkut hal yang paing esensial dalam diri manusia :
kebebasan. Tetapi ia juga harus mampu menjamin bonuum commun dan
menguatkan mekanisme negara.
Kita hidup dalam abad demokrasi, hal itu tidak bisa dinafikan.
Demokrasi liberal adalah penanda akhir sejarah umat manusia, demikianlah yang
dikatakan oleh Francis Fukuyama dalam masterpiecenya The End of
History. Selama satu abad terkahir dunia telah dibentuk sebuah tren yang
paling mendominasi, yaitu kebangkitan demokrasi. Pada tahun 1900, tidak ada
satu negarapun yang memiliki apa yang kita kenal sekarang sebagai demokrasi.
Sebuah negara yang dibangun diatas sistem pemilihan umum dimana mereka yang
berusia dewasa memiliki hak untuk memilih. Dan pada saat ini, meminjam istilah
Fukuyama, kita mengalami sejarah yang tak terelakkan dimana sekarang ada 119
negara, sekitar 62 persen dari total seluruh negara yang ada di dunia memilih
demokrasi. Hal itu menunjukan bahwa bagi mayoritas dunia, demokrasi merupakan
sumber politik legitimasi satu-satunya yang masih bertahan. Apa yang dulu terjadi
berupa konflik perang dingin antara komunisme dan fasisme telah runtuh, monarki
telah menjadi sesuatu yang antik. Bahkan tantangan dari fundamentalisme Islam
yang masih memiliki cita-cita teokrasi Islam menarik hanya bagi segelintir
orang. Demokrasi liberal, mengutip Fukuyama, telah memiliki bukti : dimana
kesetaraan dan kebebasan dianggap sebagai nilai yang inheren dalam demokrasi.
Kebebasan
Tapi apakah demokrasi hadir tanpa masalah? Justru disitulah letak
permasalahannya. Bayangkan jika setiap negara dianggap setara dan bebas untuk
melakukan apa yang dia kehendaki. Kebebasan bersifat negatif. Atau bayangkan
dalam sisi yang lain, ketika pemilihan umum yang demokratis (dalam artian
dilaksanakan secara terbuka, jujur dan independen) terpilih orang yang rasis,
fanatik dan separatis. Seperti terjadi di negara-negara Timur Tengah, atau terpilihnya
Donald Trump dalam pemilu Amerika. Disisi lain, negara-negara demokratis saat
ini masih menghadapi problem serius seperti menguatnya terorisme, perdagangan
senjata serta kemiskinan yang masih menghantui sebagian umat manusia.
Selama ini, demokrasi selalu dtahbiskan sebagai sisi mata uang yang
berkoinsidensi dengan liberalisme. Demokrasi ideal selalu ditunjukkan dengan
menunjukkan kedigdayaan Amerika. Sehingga banyak negara yang mencoba menerapkan
demokrasi-dan terbukti gagal, dituduh tidak sepenuh hati menerapkan demokrasi
liberal. Contoh adalah Mesir, Afghanistan, Irak dan lainnya. Kini ketika
sebagian besar negara dunia berada dalam sistem demokrasi, muncul berbagai
tantangan seperti terorisme, imigran yang disebabkan oleh negara-negara lemah
yang berubah menjadi negara gagal.
Ada gejala gagalnya institusi negara sebagai sebuah institusi
terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan fungsinya. Aksi-aksi terorisme,
penyebaran penyakit, konflik atau perang sipil bukanlah suatu fenomena yang
berdiri sendiri. Semenjak penyerangan WTC 11 Septermber, lanskap dan pemahaman
orang tentang demokrasi turut berubah. Sebab, para penyerang itu tidak berasal
dari negara Amerika. Ia berasal dari sebuah negara dengan kekuatan negara yang
lemah. Ia merupakan sebuah dilema pemahaman antara penguatan intervensi negara
atau kebebasan individual.
Lingkup vs Kekuatan
Diskursus demokrasi selalu berpijak pada perdebatan seberapa besar
ruang lingkup negara, pasar/ individu, dan entitas yang berada diantaa keduanya
yang sering disebut sebagai masyarakat warga (civil society/istilah jerman).
Apkah yang hendak dibentuk adalah
suatu negara totaliter seperti Nazi Jerman yang menghapuskan keseluruhan
masyarakat sipil dan mensubordinasikan individu-individu pada tujuan-tujuan
politiknya sendiri. Atau sebuah negara yang bercirikan liberal seperti Inggris
Raya dan Amerika Serikat dimana tidak ada pajak-pajak
pendapatan,program-program kemiskinan atau peraturan-peraturan keamanan pangan.
Negara liberal minimalis runtuh seiring bergulirnya depresi, perang dan
revolusi. Negara totaliter pun ambruk seiring ambruknya Tembok Berlin.
Fukuyama dalam buku terbarunya State-Building:Governance and
World Order in the 21st Century membedakan antara lingkup dan kekuatan/kemampuan
suatu negara. Dengan membuat kerangka dasar analisi, hal ini bisa menjelaskan
mengapa di sebagian besar negara berkembang, negara bukannya terlalu kuat namun
terlalu lemah. Oleh karena itu penting untuk membedakan antara akivitas negara
yang mengacu pada berbagai fungsi dan tujuan yang berbeda yang dijalankan oleh
pemerintah, dan kekuatan/kekuasaan negara atau kemampuan negara merencanakan
dan menjalankan berbagai kebijakan nya/sering disebut sebagai kemampuan
institusional negara.
Menangani Kegagalan Pasar
|
Meningkatkan Keadilan
|
|||||
Fungsi minimal
|
Menyediakan kebutuhan publik
|
Melindungi kaum miskin
|
||||
Pertahanan
|
||||||
Hukum dan Ketertiban
|
||||||
Hak Milik Pribadi
|
||||||
Manajemen Makroekonomi
|
||||||
Kesehatan Masyarakat
|
||||||
Fungsi Menengah
|
Menangani persoalan-persoalan eksternal
|
Mengatur monopoli
|
Memperkuat kualitas informasi
|
Menyediakan asuransi sosial
|
||
Pendidikan
|
Prasarana Umum
|
Asuransi
|
Redistribusi Dana pensiun
|
|||
Lingkungan
|
Anti-Monopoli
|
Regulasi Keuangan
|
Keringanan pada keluarga
|
|||
Perlindungan Konsumen
|
Asuransi Pengangguran
|
|||||
Fungsi Aktivis
|
Mengkoordinasikan Aktivitas Swasta
|
Redistribusi
|
||||
Mendorong Pasar
|
Redistribusi Aset
|
|||||
Mengumpulkan inisiatif
|
||||||
Tabel tersebut bisa kita buat dalam bentuk matrix sebagai berikut
ini :
Slein itu terdapat poros Y
yang sama sekali terpisah, yang menggambarkan kekuatan kemampuan-kemampuan
kelembagaan. Kekuatan dalam pengertian ini mencakup, kemampuan merumuskan dan
menjalankan kebijakan dan memberlakukan undang-undang, menjalankan administrasi
secara efisien, pemberantasan korupsi dan yang paling penting adalah :
penegakan undang-undang. Jika kita gabungkan kedua matriks diatas, kita akan
mendapatkan sebuah gambaran matriks yang selanjutnya akan kita bagi menjadi
empat kuadran.
|
Yang dibutuhkan adalah memperkuat negara. Bukan dalam suatu
perdebatn yang memandang kecurigaan negara terlalu besar seperti yang dilakukan
oleh Rocky Gerung atau negara-negara liberal seperti Amerika. Tetapi juga bukan
penghancuran civil society dengan melalui intervensi negara yang terlalu besar
sehingga muncul otoritarianisme. Ada
dimensi seimbang yang harus dipecahkan dalam dilema demokrasi ini, sejauh mana
intervensi negara dan kebebasan individual, apa ia akan berupa seperti Nazi
Jerman atau negara liberal Eropa pada dasawarsa 1980- yang terbukti gagal
semua. Tentu kita tidak ingin melihat negara yang kit cintai jatuh dalam krisis
seperti Timur Tengah atau Amerika Serikat saat ini.
Referensi
Fukuyama,
Francis. 2004. State-Building:Governance and World Order in the 21st
Century. Cornel: Cornel University Press.
—. 2003. The
End History and The Last Man. Yogyakarta: Qolam.
—. 1996. Trust:
The Social Virtue and the Creation of Prosperity. US: Free Press.
Zakaria, Fareed.
2004. The Future of Freedom : Illiberal Democracy at Home and Abroad.
New York: W.W. Norton & Co.
Title : DILEMA DEMOKRASI : MEMPERKUAT NEGARA ATAU KEBEBASAN INDIVIDUAL
Description : Sidik Nur Toha Akhir-akhir ini dalam diskusi kita menjelang pemilu, muncul selebriti-selebriti inteleketual yang mengatakan bahwa ...
Description : Sidik Nur Toha Akhir-akhir ini dalam diskusi kita menjelang pemilu, muncul selebriti-selebriti inteleketual yang mengatakan bahwa ...
0 Response to "DILEMA DEMOKRASI : MEMPERKUAT NEGARA ATAU KEBEBASAN INDIVIDUAL"
Posting Komentar