Oleh : Sidik Nur Toha
Penulis mengalami kebingungan untuk menjelaskan menguatnya gerakan-gerakan yang tertanam (rooted) dalam nama Islam. Beberapa waktu yang lalu, penulis berdiskusi dengan sejumlah aktivis masjid yang mengambil kesimpulan bahwa sebagai muslim kita harus radikal dan Islam sebagai sebuah agama menawarkan prinsip dan cara hidup. Pada posisi itu, penulis masih memiliki titik kesepahaman. Tetapi ketakutannya pada serba-barat, pemilihannya pada oposisi negara membuat penulis sulit untuk menangkap alur berfikirnya. Apa ini sebuah gejala yang dinamakan islamisme. Penulis mencoba melakukan pembacaan terhadap fenomena tersebut[1]. Francis Fukuyama dalam bukunya yang sangat profokatif mengklaim bahwa sejarah umat manusia telah berakhir. Apa yang dimaksud dengan berakhirnya sejarah umat manusia?. Dalam The End of History and The Last Men ia menuturkan bahwa sejarah umat manusia telah berakhir dengan kemenangan tak terelakkan dari liberalisme. Liberalisme sebagai sebuah preskriptif, nilai serta norma telah terbukti mampu menjwab problem-problem kemanusiaan. Hal itu dibuktikan dengan runtuhnya negara-negara komunis, fenomena amerikanisiasi yang melanda seluruh dunia (atau dalam istilah lain Mc donalisasi).
Penulis mengalami kebingungan untuk menjelaskan menguatnya gerakan-gerakan yang tertanam (rooted) dalam nama Islam. Beberapa waktu yang lalu, penulis berdiskusi dengan sejumlah aktivis masjid yang mengambil kesimpulan bahwa sebagai muslim kita harus radikal dan Islam sebagai sebuah agama menawarkan prinsip dan cara hidup. Pada posisi itu, penulis masih memiliki titik kesepahaman. Tetapi ketakutannya pada serba-barat, pemilihannya pada oposisi negara membuat penulis sulit untuk menangkap alur berfikirnya. Apa ini sebuah gejala yang dinamakan islamisme. Penulis mencoba melakukan pembacaan terhadap fenomena tersebut[1]. Francis Fukuyama dalam bukunya yang sangat profokatif mengklaim bahwa sejarah umat manusia telah berakhir. Apa yang dimaksud dengan berakhirnya sejarah umat manusia?. Dalam The End of History and The Last Men ia menuturkan bahwa sejarah umat manusia telah berakhir dengan kemenangan tak terelakkan dari liberalisme. Liberalisme sebagai sebuah preskriptif, nilai serta norma telah terbukti mampu menjwab problem-problem kemanusiaan. Hal itu dibuktikan dengan runtuhnya negara-negara komunis, fenomena amerikanisiasi yang melanda seluruh dunia (atau dalam istilah lain Mc donalisasi).
Tapi di bagian
akhir buku yang profokatif itu, Fukuyama menulis tentang fenomena Last Men yang
cukup menarik bagi diskusi kita pada kali ini. Yakni kehilangan orientasi
manusia akan tujuan hidupnya. Alasan utamanya adalah karena liberalisme yang
mendasarkan pada individualitas telah membuat manusia ‘semata-mata menjadi atom’
yang mengurangi dampak kebernilainnya sebagai manusia. Fukuyama menulis[2]:
“Namun
dalam jangka panjang, prinsip-prinsip liberal memiliki efek merusak terhadap
nilai-nilai yang mendahului liberalisme. Nilai-nilai yang penting untuk
menopang komunitas-komunitas yang kuat, dan oleh karenanya juga berefek merusak
terhadap kemampuan masyarakat liberal untuk menopang dirinya”
Pernyataan akhir
Fukuyama, ilmuwan Amerika itu membuat akhir sejarah telah ditunda (postpone
the end of history). Faktanya kegagalan liberalisme pada ahir tahun 2008,
kebangkitan negara-negara Islam, munculnya kelompok-kelompok islam dan
penolakan terhadap ide-ide liberal masih terus berlangsung sampai sekarang.
Salah satu diskursusnya adalah islamisme.
Islamisme
tidaklah identik dengan islam. Jikalau identik, kita tak perlu lagi menggunakan
istilah islam untuk mengalihkan bahasa dengan islamisme. Islamisme dengan tambahan
‘isme’ dibelakangnya merujuk pada suatu paham, norma yang menuntun langkah
seseorang ‘sesuai dengan islam’ di abad 20 ini. Islamisme dalam hal ini setara
dengan marxisme, leninisme atau sosialisme. Mengapa? Jawabannya disampaikan
oleh Samuel Huntington, seorang guru besar politik di Harvard, dengan
keruntuhan negara negara Komunis, pecahnya Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin
dan berbagai peritiwa lainnya. Praktis liberalisme ala Amerika tidak menemukan
tandingannya. Yang terjadi adalah penguatan identitas primordial. Dan salah
satu kekuatan besar yang ada saat ini adalah kekuatan islam[3].
Bassam Tibbi, profesor Hubungan Internasional
di Jerman menyatakan Islamism, dgn tambahan ‘ism’ dibelakangnya, tidak sama
dengan islam. Seperti halnya Marxisme yang tidak identik dengan ajaran Marx.
Islamisme merefleksikan transformasi ajaran asli Islam kedalam sebentuk
ideologi yang mungkin saja berbeda dengan ajaran aslinya. Riset pria kelahiran
damaskus ini menunjukan bahwa Islamisme adalah pemakaian instrumen islam secara
berlebihan (abuse power of islam). Dan ide-ide islamisme adalah bentuk
baru dari totalitarianisme.[4]
Bahkan
Ayatulloh Ali Khomeini pernah mengirim salah satu suratnya kepada Mikhail
Gorbachev pada 1989 ketika Uni Soviet dirundung keruntuhannya. Pemimpin Iran
itu menyarankan bahwa pemerintahannya bisa menjadi model baru bagi Soviet.
Khomeini menulis[5]
:
"I
openly announce that the Islamic Republic of Iran, as the greatest and most
powerful base of the Islamic world, can easily help fill up the ideological
vacuum of your system (Saya secara terbuka mengumumkan bahwa Republik Islam
Iran, sbg kekuatan terbesar dan terkuat di dunia Islam, bisa secara mudah membantu
memehhi kevakuman ideologis dari sistemmu)”
Akar-Akar
Islamisme
Islamisme sebenarnya bisa kita telusuri jauh,
sejauh agama Islam itu sendiri. Namun, islamisme sebagai sebuah definisi spesifik
mulai dibahas setelah kejadian 9/11 Word Trade Center. Setelah itu, muncul
kebutuhan untuk membedakan Islam dengan islamisme. Banyak orang yang kemudian
menyamakan Islamisme dengan fundamentalis, radikal islam dan jihadisme. Tapi
penulis disini berargumen bahwa penyamaan itu tidaklah tepat. Alasan dasarnya,
karena kompleksitas islamisme sebagai sebuah ideologi tidak bisa dispesifikkan
dengan istilah-istilah diatas.
Islamisme
bisa disebabakan oleh faktor external dan internal[6].
Faktor external itu bisa dikarenakan penajajahan negara-negara eropa yang
diidentikkan dengan Kristen (christendom). Sementara ini ada tiga aspek
guna kita menelusuri akar-akar islamisme. Tiga aspek penting dari islamisme
adalah : 1. Kepatuhannya kepada hukum yang sakral, 2. Penolakannya pada
pengaruh serba-barat, 3. Transformasi kepercayaan (faith) menjadi
ideologi (ideology). Point ketiga merupakan point yang penting.
Transformasi dari keyakinan menjadi ideologi. Ideologi menurut Guru Besar
Universitas Paris, Paul Riceour,
menyediakan distorsi, dissimulasi proses dimana seorang individu atau
masyarakat mengekspresikan situasi dirinya tetapi dengan tanpa memahami dan
mengetahuinya dengan pasti. Dalam kuliah umum berserinya, Lectures on Ideology
and Utopia, Ricouer menjelaskan ideologi adalah imajinasi bersama tentang
sebuah tatanan (order).[7][8]
Dizaman
modern ini, akar-akar islamisme sebagai sebuah gerakan dan dan organisasi
merupakan fenomena abad 20. Hal itu bisa dilacak dengan pembentukan Ikhwanul
Muslimin oleh Hasan al Banna di Mesir pada tahun 1928. Induk dari dua organisasi
semacam Tanzimul Jihad dan At Takfir wal Hijro. Yang terkahir merupakan pihak
yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan presiden Mesir Anwar Sadat pada
tahun 1981. Ayman al Zawahiri, anak buah Osama bn Laden muncul dari didikan
organisasi seperti ini. Kemenangan Mujahidin di Afghanistan yang berhasil
mengeluarkan Tentara Merah pada tahun 1989, kemunculan Taliban, Al Qaeda dan
yang terkahir ISIS adalah representasi ekstrim dari islamisme.
Islamisme
dikaburkan dengan keragaman latar belakang para pengikutnya. Ia bisa berasal
dari Sunni, Syia ataupun Wahabi. Zarqowi, seorang warga negara Jordan
mengumumkan perang berdarah melawan Syiah di Irak melawan Muqtada As Sadr,
seorang militan Syiah di Irak. Zawahiri, orang kedua setelah Osama bin Laden,
mengkritisi peneyrangan tersebut kepada Zarqowi dan memintanya untuk bersikap
lebih bersahabat. Meskipun nasehatnya tidak diindahkan oleh kedua pihak.
Makanya ada persamaan mendasar diantara penganut islamisme, mempercayai
karakter totalitarian islam dan mereka memiliki tujuan untuk menegakkan ummat
universal dengan segala cara[9].
Di
Indonesia, Islamisme juga menjadi salah satu pilar kekuatan (driving force)
sebelum kemunculan para tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno dan tokoh-tokoh
didikan eropa lainnya. Tapi perkembangan selanjutnya, realitas
negara-kebangsaan dan demokrasi tidak bisa di elakkan. Islamisme menolak semua
yang berbau barat termasuk negara bangsa. Sudah banyak upaaya-upaya untuk
memaksakan totalitas islam baik konstitusional maupun inkonstitusional. Tokoh-tokoh
utamanya waktu itu seperti M Natsir menginginkan bentuk negara Islam, kemudian
munculnya DII/NII, partai Masyumi, Komando Jihad dengan tokoh-tokohnya Daud
Bereuh, Kahar Muzakar dan Kartosoewiryo. DII/NII misalnya menolak bentuk negara
kebangsaan dan menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam.
Negara-kebangsaan adalah produk kafir. Hal itu mencirikan ciri yang sama dengan
islamisme, totalitas kehidupan islam dan dengan segala cara.
Kemungkinan-Kemungkinan
Islamisme di Masa Mendatang
Jika kemudian islamisme dipahami sebagai kritik
terhadap kemenangan tak terelakkan Amerika dengan Liberalismenya baik dari
Sosial-Politik-Teknologi tentunya hal itu perlu kita pelajari. Tapi jika
Islamisme semata bertujuan menciptakan tatanan baru (create new order)
yang utopian dan idealistik, disini kita harus menolaknya. Tatanan baru yang
ditawarkan adalah utopian dan kemungkinan besar menyebabkan ketidakaturan (disorder). Bassam Tibbi dalam risetnya yang lain, The
Challenge of Fundamentalism,[10] menyatakan
bahwa keinginan untuk menciptakan tatanan adalah ilusif. Maka kemungkinan yang
terjadi adalah ketidakteraturan (disorder). Contoh-contoh yang nyata
adalah fenomena Arab Spring yang terjadi di Tunisia, Mesir, Syiria dan
negara-negara lainnya.
Tentunya,
disini kita tidak menolak islam sebagai sebuah kekuatan. Kejayaan (the glory)
Islam pada abad 8-15 dalam berbagai aspek menunjuka islam sebagai driving
force kemajuan. Tapi disisi lain, kita harus membedakan imajinasi kebesaran
Islam sebagai nilai-nilai universal dan imajinasi tentang nilai-nilai yang yang
partikular. Sebagai contoh, problem teknologi dll jika resepnya adalah negara
islam dan formalisasi syariat tentunya adalah reduksi dari universalitas Islam.
Penolakannya terhadap realitas negara-kebangsaan[11]
dan demokrasi karena berasal dari Barat pun adalah sebuah kenaifan tersendiri.
Sehingga kita harus membedakan islam sebagai sebuah ideologi dan islam sebagai
agama universal,rahmat bagi seluruh alam. Disini sebuah pertanyaan relevan
untuk diajukan. Beranikah kita menantang islamisme?
[1] Tulisan ini
pada awalnya dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Ideologi.
Penulis mengajukan dimasukkannya Islamisme sebagai Ideologi baru. Tetapi sampai
tulisan ini selesai ditulis, penulis masih belum merasa yakin telah menuntaskan
definisi yang ada. Bahkan sampai lima halaman yang penuh perjuangan ini,
rasanya penulis belum menjelaskan apa-apa. Kegagalan pendefinisian itu
berangkat dari definisi yang tersedia yang menurut penulis sangat bias. Hal itu
bisa dimaklumi, dikarenakan penulis yang hidup sedari kecil dalam kultur islam,
meyakini bahwa Islam adalah totalitas kehidupan, meskipun tidak dalam kadar seperti
islamisme. Makanya penulis memandang penting dilakukan pendedahan sains yang
sekarang berkembang. Karena asumsi-asumsi dan prinsipnya yang sangat bias
barat. Pada akhirnya penulis merasa
memasuki terra incognita yang belumberhasil dijelaskan dalam diskursus
islamisme.
[2] Lihat Fukuyama, F. (2003). The
End History and The Last Man. Yogyakarta: Qolam.
[4] Lihat Tibbi, B. (2012). Islam and Islamism. London:
Yale University Press
[5] Lihat Mehdi Mozaffari (2007), M.
(2007). What is Islamism? History and Definition of a Concept. Routledge ,
17-33.
[6] Untuk
pembagian ini, penulis berterimakasih atas tulisan semi akademis M Kholid
Syaerazi dalam Facebooknya yang dimuat ulang oleh NU Online berjudul Anatomi
Radikalisme di Indonesia. Tulisan serial panjang yang mendedah radikalisme di
Indonesia secara komprehensif.
[7] Lihat Riceour, P. (1986). Lectures on ideology and
utopia. New York: Columbia Univeristy Press.
[8] Dalam
hal ini, penulis terkejut dengan sebuah penelitian kolaboratif enam tahun
antara sosiolog dan ilmuwan politik Diego Cambetta dan Stefon Hertog dalam
Engineers of Jihad, 2016 diterbitkan oleh Princeton university Press. Banyak
dari para ‘perancang jihad’ adalah lulusan dari teknik, kedokteran dan bisnis, dimana
banyak dari mereka pernah mengenyam pendidikan barat. Tapi dunia barat bagi
mereka menjadi amat berbeda. Barat dan dunia ini dipersepsikan sebagai sekuler
dan anti-islam. Hal tersebut memperkuat tesis bahwa ada semacam ideologi yang
tekait erat dengan Islam.
[9] Lihat Pipes, D. (2000). Islam and Islamism: Faith and
Ideology. National Interest, 87-93
[10] Lihat Tibbi, B.
(1998). The Chllenge of Fundamentalism. Los Angeles: University of
California Press. DAlam bukunya ini, penulis melihat Tibbi secara serampangan
menukar istilah fundamentalisme dengan islamisme. Tapi dalam beberapa hal,
fundamentalisme merupakan induk semang dari islamisme. Beberapa kesamaan itu
adalah, reaksi terhadap serba-barat, penolakan terhadap demokrasi & negara,
pendirian global umma.
[11] Negara
kebangsaan memang merupakan konsepsi politik yang baru. Akarnya tertanam dalam
revolusi Perancis dan menyebar seiring jatuhnya masa kekaisaran dan
perkembangan kolonialisme eropa. Di Timur Tengah, negara-kebangsaan dituduh
menjadi biang kerok karena ia berkembang seiring dengan runtuhnya kekaisaran
Ottoman yang telah berusia lebih dari enam abad. Lihat Bassam Tibbi, The
Challenge.......dan Anderson, B. (2006). Imagined Communities :
Reflexng on the origin and Spread of Nationalism. New York: Verso : London.
Title : Menantang Islamisme
Description : Oleh : Sidik Nur Toha Penulis mengalami kebingungan untuk menjelaskan menguatnya gerakan-gerakan yang tertanam ( rooted ) dalam nam...
Description : Oleh : Sidik Nur Toha Penulis mengalami kebingungan untuk menjelaskan menguatnya gerakan-gerakan yang tertanam ( rooted ) dalam nam...
0 Response to "Menantang Islamisme"
Posting Komentar