Damar itu Disulut dan Menyala-nyala


-Katanya kita sudah memiliki rumah, tapi rumah seperti apa akupun masih meraba-Shosanna Zabof


Damar itu Disulut dan Menyala-Nyala (dan tak boleh padam)

Itu judul manifesto Tradisi di edisi pertama terbitannya. Aku yang menulisnya. Awalnya tanpa judul, dan oleh Thovan Sugandi,pimredku waktu itu, diberi judul tersebut. Aku menyukainya karena itu meringkus apa yang aku tulis tentag ‘deklarasi’ Jurnal Tradisi. Jika ingin mengetahui alasan, urgensi, konteks dan semangat yang hendak dicapai melalui Jurnal Tradisi, baca Manifesto yang ada di Jurnal edisi perdana Tradisi. Itu setidaknya,walaupun gak keseluruhan, merangkum malam-malam panjang diskusi-diskusi, rapat-rapat dan harapan-harapan akan perubahan yang ada di Tradisi. Tulisan ini atau boleh dikatakan catatan ini, tidak ingin mengulang manifesto tersebut. Tulisan ini ingin merangkum narasi setelahnya dan sesudahnya. Karena waktu terus membaru, tetapi manusia terus menua. Jika ada yang bisa diperbaharui dari seorang manusia adalah semangatnya. Hendaknya catatan ini bisa diwariskan agar sekali disultu, dia terus menyala-nyala.
Adalah tidak mudah mengelola sebuah intstitusi keilmuan di sebuah organisasi dengan orientasi politik yang kuat dan budaya keilmuan yang lemah.Tantangannya terlalu besar, baik dari segi sumber daya, stakeholder dan peluang pasarnya. Tetapi meniliki urgensinya, hal itu harus dilakukan. Argumen dasarnya adalah Gerakan Mahasiswa atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, semuanya mengandaikan status dan mengandung kata mahasiswa sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Mahasiswa, pada alasan yang paling dasar, adalah seorang intelektual. Ia berjalan, bergerak atas dasar ilmu pengetahuan yang ia konsumsi, ia perdebatkan dalam sebuah institusi akademik bernama universitas. Itu alasan dasarnya.
Alasan lain yang berada dalam satu sisi mata uang yang sama adalah keterjebakan. Keterjebakan dalam politik praktis. Politik yang selalu dimaknai sebagai will to power itulah yang coba kita ubah. Jika will to power artinya pragmatisme. Semua institusi gerakan mahasiswa seringkali dijebak untuk to power, untuk berkuasa. Padahal sebelum will to power, harus ada gagasan, ide dan platform perjuangan yang jelas. Jika tanpa didahului itu artinya : keterjebakan pragmatis. Tentu dua alasan itu berkoinsidensi juga dengan semangat ke Islaman dan ke Indonesia an yang hendak terus di jaga, dikritik, diuji coba dan dibangun kembali.
Dua tahun bukanlah usia yang lama, tetapi juga bukan usia yang singkat. Terlalu banyak yang ingin diceritakan. Pesimisme, dinamika, konflik, harapan/optimisme, semangat perjuangan adalah bagian yang terus ada dan tidak terpisahkan dari Tradisi. Selama dua tahun ini, pembangunan keorganisasian atau institusi building terus dilakukan. Semua prasyarat untuk menjadi ‘lembaga riset top’ terus-menerus diuji coba. Meski nampak hasilnya belum begitu bisa diharapkan. Tapi menikmati proses adalah bagian dari menikmati hasil bukan?
Catatan ini ingin merangkum point-point pengalaman tradisi ke depannya. Urutannya tidak beruntun, akan tetapi satu point dengan yang lainnya saling berkelindan satu sama lain.
1. Tradisi tidak lahir dari sebuah kesiapan yang sempurna. Pada periode PU sebelumnya, Fikri Fawaid, para awak ingin diadakan berbagai pelatihan terlebih dahulu menimbang kapasitas awak dan pada tahun tersebut tidak berhasil terbit. Oleh karena itu, di periodeku kami ditantang untuk terbit terlebih dahulu, baru nanti akan diadakan training-training. Yang ingin saya katakan, tradisi lahir dari sebuah harapan besar tidak dengan kesiapan yang optimal. Proses belajar terus-menerus adalah kuncinya.
2. Pembangunan institusi atau institutional building selalu dilakukan mulai dari pendiriannya sampai sekarang. Tentu menyesuaikan tantangan internal dan problem yang dihadapi organisasi. Pada tahun pertama, butuh waktu satu tahun lebih untuk menerbitkan Jurnal Tradisi, di tahun setelahnya (dengan proses transisi yang berat) butuh waktu setengah tahun. Empat pelatihan yang direncanakan di awal mulai dari pelatihan Filsafat Ilmu, kelas Riset, kelas Metodologi Penelitian dan Editing baru bisa dilaksanakan pada tahun kedua. SOP dan perangkat manajemen lainnya juga telah ada meski harus terus diperbaiki.
3. Sistem Finansial, sistem finansial tradisi memang belum sesuai dengan harapan yang direncanakan karena belum terpenuhinya harapan periode terbit. Tradisi merencanakan memiliki aset 20 juta pertahun dengan  4 kali terbitan. Tapi dilihat dari progresnya, perkembangannya cukup signifikan. Finansial tradisi diproyeksikan sampai maret tercapai 40 persen. Alhamdulillah.
4. Mengelola sebuah penerbitan ilmiah di tengah institusi  dengan budaya dan sikap ilmiah yang lemah butuh perjuangan tersendiri. Effortnya lebih dibandingkan pengelola yang lain.
5. Jaringan Tradisi sudah mulai terbentuk baik jaringan partner maupun jaringan pasar. Hal itu harus terus menerus di kelola. Harga sebuah jaringan adalah harga kesuksesan Tradisi dimasa mendatang. Ke depan saya memiliki saran, hubungan dengan para pengusaha atau pemilik usaha harus di kelola lebih maksimal.
6. Sumber daya manusia adalah segalanya di tradisi. Pengembangan kapasitas dan skill harus terus dilakukan.
Lalu apa yang harus dikerjakan di Tradisi?
1. Tradisi harus bertransformasi menjadi digital pada masa mendatang. Harapannya di edisi ke 6, Tradisi sudah bisa mengelola jurnal dalam bentuk digital demi akses pengetahuan/demokratiasi ilmu. Syaratnya adalah sumber-daya manusia yang harus segera disiapkan-terus-menerus.
2. Pengembangan yang selalu ditujukan pada Research & Development harus digalakkan tanpa lelah.
3. Sistem kaderisasi yang kuat harus dimiliki tradsi, sehingga pola transformasinya bisa berjalan secara berkesinambungan (sustainability). Sampai saat ini (dalam dua tahun tradisi) error & trial terus menerus dilakukakn. Ke depannya, pola kaderisasi harus dibangun berjenjang dan memperkuat basis kultural tradisi menjadi penting.
4. Sikap Ilmiah (diskusi, berdebat, problem solving dan bermusyawarah) adalah citra diri seorang awak tradisi. Oleh karenanya, sikap ilmiah tak boleh redup dan mati.
5. Tradisi dibangun dan berkembang atas dasar citra diri PMII, yang merupakan koinsidensi antara ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Tetapi, citra itu masih belum terasa dalam dua edisi ini. Tradisi selama ini masing ‘mengekor’ atau lebih halusnya ‘mencari bentuk’ dengan jurnal-jurnal yang sudah mapan seperti Balairung, Wacana, Prisma dll. Tradisi harus mampu menampilkan citra ke Indonesiaan dan ke Islaman. Saran konkrit : Harus ada rubrik ke-Islaman di Tradisi!
Mungkin saya memiliki banyak sekali kekurangan –pola komunikasi interpersonal yang payah,fokus yang terpecah,kurang bisa mengayomi, tapi inilah usaha dan kerja-kerja terbaik yang bisa saya lakukan. Hanya balasan dari Alloh yang saya harap.
Mungkin itu saja. Jaya Tradisi, Jaya PMII, Jaya Islam dan Indonesia!

-SNT-












Behind the Scene
Dibalik nama (yang mungkin 'besar') yang sedang dibangun Tradisi tentu banyak onak dan duri. Ada duka dan suka. Ada kopi bermalam-malam yang harus dituntaskan, ada konflik, harapan, cita dan cinta. Tetapi semuanya berhasil dilalui sampai saat ini. Tanpa bermaksud ‘sambat’ memang 'hal-hal seperti itu' lah yang harus dilalui. Saya mempunyai prinsip, we follow the vision, not a path : Kita mengikuti sebuah visi yang jelas, bukan bagian kecil dari jalan entah berantah. Nashrun minalloh, wa Fathun Qoriib.


Title : Damar itu Disulut dan Menyala-nyala
Description : -Katanya kita sudah memiliki rumah, tapi rumah seperti apa akupun masih meraba-Shosanna Zabof Damar itu Disulut dan Menyala-Nyala (...

0 Response to "Damar itu Disulut dan Menyala-nyala"

Posting Komentar

Histats

Total Tayangan Halaman

PR

PageRank Checker