Membesarkan Api, Menjaga Sumbu : Suatu Agenda Pendidikan

Catatan Pengantar Kurikulum Tradisi
SNT, Pembantu Umum


“Tidak setiap masa lahir orang-orang dengan dengan komitmen, semangat dan visi yang besar. Oleh karenanya, institusi dan pendidikan harus segera dirumuskan. Karena jika moving down, ia memiliki katup penyangga” –Hasan Bachtiar
Apa yang terjadi pada Tradisi di tahun kedua, pasti tidaklah sama dengan apa yang terjadi di tahun pertama--iya tahun pertama penerbitan yang berdarah-darah (sic!). Tapi perubahan dan tantangan adalah keniscayaan. Setiap masa memiliki tantangannya sendiri, pun harus mencari caranya sendiri-tentu harus lebih baik, efisien dan efektif. Karena jika tidak, ia seperti yang dikatakan sebuah pepatah arab : Orang yang bodoh adalah orang yang hari ini tidak lebih baik dari hari kemarin. Mempelajari masa lalu itu penting, tapi sejarah masa kini dan masa depan jauh lebih penting untuk digagas dan dipecahkan. Itulah yang kemudian melandasi semangat apa yang kemudian kita beri nama tradisi. Adalah tepat kiranya, untuk tetap berpegang teguh pada tradisi sambil tidak terikat pada sikap tradisional. Barangkali yang diperlukan adalah sebuah sikap kritis, ketat dan ilmiah agar terbuka kemungkinan ufuk baru sejarah. Quote yang harus di pahami, diresapi dan menubuh pada diri setiap awak Tradisi (oleh karenanya, ia dibahas di awal awak masuk tradisi, ada dalam halaman pertama edisi perdana bahkan kaos awak-meski banyak kritik designnya yang tidak terlalu memuaskan). Catatan singkat ini ingin merangkum obrolan berjam-jam, ngopi bermalam-malam dengan berbagai pihak serta harapan akan agenda pendidikan yang akan dibentuk di Tradisi.
Pertama, Tradisi lahir ketika PMII secara umum dan UGM secara khusus, lahir dalam nuansa politik yang terlalu dominan. Politik yang selalu dimaknai sebagai siapa-mendapat-apa (who get what). Terma ini diterima dan diamini saja oleh sebagian besar aktivisnya. Sehingga muncul stigma pembeda antara KMNU dan PMII adalah bagian politik itu. Tentu ini simplifikasi dan untuk ini bisa dibaca lebih panjang dalam Manifesto Tradisi di edisi perdana.
Kedua, Tradisi lahir dalam sebuah kondisi ‘ketidaksiapan’. Tidak menunggu semua infrastrukturnya di perispakan terlebih dahulu, para awaknya mendapatkan berbagai pelatihan terlebih dahulu, ada dana operasional, jaringan dan lain sebagainya. Tidak!. Tradisi lahir di sebuah garasi sahabat Hasan Bachtiar dengan segala ketidaksiapan dan keterbatasan (baik kapasitas, finansial, pengetahuan dan lain sebagainya). Semuanya dijalankan dengan semangat belajar terus-menerus. Untuk lebih lengkap bisa dibaca dalam Buku Uneg-Uneg awak dan Manifesto Tradisi
Ketiga, Tradisi lahir dan tumbuh dalam payung PMII, PMII UGM. Harapan awalnya adalah hilirisasi output kaderisasi, manifestasi tetralogi M dalam akronim PMII –ke-Mahasiswaan. Tapi sampai dua tahun, berbagai usaha itu masih belum menemukan apex idealnya. Usaha seperti RTL PKD mengirim makalah/paper, proses kaderisasi baik dari Rayon dan Komisariat yang diharapkan mempunyai minimal output. Jalan satu-satunya adalah Tradisi go forward aja dulu, dibandingkan apinya meredup. Dan pada tahun keduanya, sebagaimana penulis sering mendapatkan curhatan, malah dirasa sangat lemah sekali sikap dan budaya ilmiah yang ada di PMII. 
Tentu masih banyak hal, tapi akan terlalu panjang untuk dirangkum semuanya dalam catatan ini. Tapi point terakhir menjadi urgent, tidak hanya bagi PMII tapi juga bagi Tradisi. Penulis memotret dan merangkum itu dalam pergulatan baik sebagai awak Tradisi maupun kader PMII. Di tahun pertama lahir, pertemuan dan perdebatan dirasa sangat dinamis, challenging ide dan gagasan benar-benar hidup. Meski kondisi organisasi bisa dikatakan sangat tidak ideal. Dididik langsung oleh Sahabat Hasan Bachtiar. Setiap pertemuan, selalu ada diskusi entah itu isu ataupun buku. Transisi memang tidak berjalan dengan baik, tapi penulis bertekad untuk melaksanakan semua agenda pengembangan yang telah direncanakan tetapi belum bisa terlaksana di tahun pertama. Semuanya-alhamdulillah- terlaksana dengan baik, hampir diikuti oleh semua awak. Tetapi penulis selalu bertanya, kenapa suatu kondisi sikap dan budaya ilmiah serasa tidak terbentuk, militansi dan konsistensi terhadap organisasi lemah. Lama penulis melakukan refleksi ini, tentu sambil terus melakukan berbagai upaya lainnya. Tentu alasan pertama ada pada payungnya, tetapi itu masih membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai apexnya. Penemuan penulis kedua adalah ternyata Tradisi belum merancang sistem kaderisasinya – atau Manajemen Sumber Daya Manusia. Berbagai pendidikan terlaksana tapi tanpa perencanaan yang matang! Secara formal terlaksana, tetapi belum secara substansi. Maka kurikulum ini disusun.
Kurikulum ini disusun dengan harapan menjadi batu pijak pendidikan bagi Tradisi dalam tahun-tahun ke depan. Tentunya bukan barang sakral, ia harus ‘di kritik, di uji-coba serta dibangun kembali’ setiap masanya. Relevansinya bukan pada formalitas terlaksana atau tidaknya agenda kelas, tapi pada substansi pada pembentukan sikap dan budaya ilmiah –suatu hal yang menjadi citra diri awak Tradisi. Ada lima kurikulum yakni Ke-Tradisi-an, Filsafat Ilmu, Metodologi Riset, Metode Penulisan Ilmiah dan Editing. Kurikulum itu merupakan satu kesatuan dalam seluruh pendidikan yang ada di Tradisi. Sebagai upaya peningkatan kapasitas awak secara terus menerus.
Kurikulum terdiri dari Kompetensi, Metode dan Referensi Primer serta Sekunder. Hal ini sangat fleksibel dan masih perlu dirumuskan lebih lanjut ke depannya. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah ia tidak berlaku baku seperti kurikulum pendidikan kampus-suatu kurikulum yang totaliter-nondemokratis,monolog dan selalu berada dalam logika industri sehingga membunuh jiwa kepeloporan,keingintahuan dan kemandirian. Kurikulum ini disusun supaya ada panduan bagi Tradisi mengenai buku atau tulisan apa yang harus dijadikan acuan. Selain itu, agar tiap awak minimal memahami setiap kelas dengan referensi primer. Yang pada akhirnya adalah perbaikan bagi organisasi maupun individu. Dan dari proses di Tradisi, muncul satu antusiasme para anggotanya, sikap dan budaya ilmiah yang diharapkan. Menjadi ajang/tempat belajar yang menantang dan mengasyikkan, menyukai proses belajar dan tidak berharap pada formalitas seperti gelar belaka-sesuatu yg telah lama mati dalam dunia pendidikan menurut saya.

Mungkin banyak orang yang mencela Budi karena sepatunya yang kotor,tanpa pernah peduli ia telah berlari ribuan kilometer demi belajar dan mencapai tujuannya.
Life must (always) go on, Tradisi!

Title : Membesarkan Api, Menjaga Sumbu : Suatu Agenda Pendidikan
Description : Catatan Pengantar Kurikulum Tradisi SNT, Pembantu Umum “Tidak setiap masa lahir orang-orang dengan dengan komitmen, semangat dan v...

0 Response to "Membesarkan Api, Menjaga Sumbu : Suatu Agenda Pendidikan"

Posting Komentar

Histats

Total Tayangan Halaman

PR

PageRank Checker