(Pengantar Diskusi
Ramadhan Keluarga Muslim Fakultas Hukum)
SNT, PMII
Cabang Sleman
Ig :
pmiisleman/shidiqthoha
Twitter :
@pmiisleman/@shidiqnthoha
Tulisan ini saya buka dengan beberapa kisah epik dalam kitab Ihya Ulumiddin
yang ditulis oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali di Juz 1, Kitab Ilmu. Imam
Ghozali menulis dalam kitabnya :
Suatu ketika, Imam Sufyan
Ats Tsauri mengunjungi suatu perkotaan bernama kota Asqolan. Imam Sufyan adalah
sosok sufi besar pada zamannya. Ia datang bersama rombongan dan masuk kota tersebut. Tiba-tiba, ketika dia berada di
gerbang kota, Sufyan Atssauri senagaja berdiam
diri, tetapi tidak ada yang bertanya dari penduduk kota tersebut kepadanya. Dan
tidak pula berbicara sama sekali kepada orang-orang yang menyertainya. Kemudian
Imam Sufyan Attsauri berkata : Ayo mari kita berbalik karena perintahku. Daerah
ini adalah daerah dimana ilmu mati (hadza baladun yamuutu al-ilm). Kata Imam
Ghozali : Imam Sufyan Attsauri
mengatakan demikian karena menjaga fadhilahnya belajar-mengajar dan lestarinya
ilmu pengetahuan. [1]
Tentu ada banyak sekali hadist, ayat Quran dan perkataan para ulama
tentang pentingnya ilmu dan tradisi ilmiah dalam Islam sendiri. Mulai dari ayat
yang menyindir manusia ‘apakah kamu tidak berfikir, apakah kamu tidak melihat,
apakah kamu tidak melakukan penelitian dan lain sebagainya’ akan sangat panjang
untuk mengupas hadist, ayat tersebut dalam catatan ringkas saya ini. Tetapi ada
satu gugatan penting yang merangkum hubungan yang tidak ideal antara pesan
langit dan realitas kaum muslimin dewasa ini, diungkapkan oleh Syekh Jauhar
Thontowi, Grand Syaikh Al Azhar Mesir.
Lemahnya budaya ilmiah dapat dilihat dari sumbangsih kaum muslimin
dalam gelanggang ilmu pengetahuan di dunia. Dulu umat Islam pernah menjadi umat
yang disegani karena mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan hebat mulai dari ilmuwan
sosiologi, hukum/fiqh, gramatika/linguistik/nahwu-shorof,
politik/siyasah, sejarah/ilmu tarikh, kimia, kedokteran dan lain
sebagainya. Dulu Islam mencapai
zaman keemasan pada abad ke-7 sampai 13 M dan melahirkan bintang-bintang
cemerlang seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M), Al-Fazari (w. 796/806 M),
Al-Farghani (w. 870 M), Al-Kindi (801-873 M), Al-Khawarizmi (780-850 M),
Al-Farabi (874-950 M), Al-Mas’udi (896-956 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), Ibn
Sina (980-1037 M), Al-Razi (1149-1209 M), Al-Haitsami (w. 1039 M), Al-Ghazali
(1058-1111 M), dan Ibn Rushd (1126-1198 M) itu karena sumbangan yang tiada tara
bagi ilmu pengetahuan dan perdaban manusia. Manfaatnya melampaui zaman, tanpa
sekat agama dan bangsa. Dunia berterima kasih kepada Islam karena ilmu
pengetahuan. Lalu bagaimana realitas kaum muslimin saat ini?
Syech Jauhar Thontowi dalam kitab
tafsirnya Jawahir menyebutkan bahwa kondisi tradisi ilmiah dalam dunia
Islam amat mengenaskan saat ini. Produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan umat
Islam terbatas pada ilmu Fiqh. Padahal menurut beliau dari ribuan ayat Quran,
ada 750 ayat kauniyyah dan hanya 150 ayat Fiqh dalam Islam. Selain kemudian
anjuran, ajakan untuk melakukan eksplorasi terus menerus terhadap realitas alam
semesta dan sosial-masyarakat. Perkembangan ilmu dalam Islam terasa mandul,
padahal lebih dari 43 kali dalam Al Quran, Alloh menyebut afala ta’qiluun dan
10 kali menyebut afala tatafakkaruun. [2]
Tradisi Ilmiah Barat vs Islam
Ilmu memiliki banyak sekali aspek dalam kehidupan
manusia. Liang ie dalam bukunya Pengantar Filsafat Ilmu setidaknya membagi Ilmu
dalam empat bagian. Bagian yang pertama adalah ilmu sebagai proses, ilmu sebagai
prosedur, ilmu sebagai produk dan ilmu sebagai solusi. Dari ke emapt bagian
itu, setiap bagian menunjukan aspek yang sanat luas berkaitan dengan ilmu,
seperti riset, metodologi ilmiah, teori, protoype dan masih banyak yang
lainnya.[3]
Tapi jika di sarikan dari pandangan Gie diatas, penulis mengambil sebuah
kesimpulan, bahwa kerja-kerja keilmuan (scientific work) adalah kerja-kerja
yang berorientas pada research and development.
Perkembangan sejarah telah membuat ilmu
pengetahuan didominasi oleh barat sama sekali. Untuk mengetahui secara
sederhana, setidaknya ada tujuh hal untuk mengetahui apakah suatu pekerjaan itu
merupakan kerja-kerja keilmuan atau bukan.[4]
Setidaknya ada tujuh hal, 1.Dokus pada dunia ‘natural’ 2. Bertujuan untuk
menjelaskan dunia ‘natural’ 3. Menggunakan ide-ide yang bisa di test 4.
Berpijak pada bukti 5. Berkaitan dengan komunitas ilmiah 4. Memungkinkan untuk
riset lebih lanjut 5. Manfaat dari sikap ilmiah.
Jika kita cermati, kemudian ada perbedaan mendasar
antara sains yang dipahami dalam tradisi Islam. Utamanya dalam pengertian
‘natural’. Apa yang disebut dengan ‘natural’. Dalam tradisi Barat, ‘natural’
dimaknasi sebagai suatu hal yang bisa diindera atau empirik. Selain itu, ilmu
selalu dinisbatkan sebagai hal yang ‘bebas nilai’. Ilmu dipisahkan dari fungsi
dan nilai etiknya. Penulis mencoba jelaskan beberapa karakteristik yang berbeda
dari prinsip ilmu dalam dua tradisi tersebut.
Dalam Islam terdapat dua kalsifikasi ilmu secara
umum.Yang pertama adalah ilmu yang didapat tanpa belajar dan bersifat intuitive
(perennial knowledge). Ilmu-ilmu ini didasarkan pada wahyu ilahi yang
tertera dalam Al Quran dan Hadist.Yang kedua adalah ilmu yang dicari (muktasab/acquired
knowledge). Termasuk dalam hal ini adalah sains modern, ilmu-ilmu ke alaman
dan sosial. [5] Bagi Islam objek ilmu
adalah dunia material (physical world), oleh karenanya Al Quran selalu
menganjurkan untuk mengadakan obseervasi dan eksperimen dan menggunakan akal
serta intuisi. Karena disamping itu,Al Quran juga mengakui adanya realitas lain
yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Seperti dalam Al Quran : Maka
aku bersumpah atas apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat
kamu lihat (QS 69:38-39). Dalam hal
ini bisa kita lihat perbedaan konsepsi ‘natural world’ dalam dua tradisi yang
berbeda[6].
Hal itu berimplikasi lebih jauh. Sikap tidak
menerima selain yang bisa diterima panca indera mengakibatkan absennya tuhan
dan dimensi spiritual dalam tradisi ilmiah barat. Yang lebih berbahaya lagi,
ilmu adalah semata kepentingan pribadi. Dalam Islam, ilmu selalau bermakna
spiritual.Hal itu bisa dilihat dari ayat Iaro, yang disertai dengan Ismi
Robbika. Sains tidak pernah murni untuk dirinya sendiri, riset-riset tidak pernah
murni untuk riset atau kepentingan dirinya sendiri. Ilmu ketika dikaitkan
dengan Ismi robbika, kata Prof A Halim Mahmud, menjadi ‘demi tuhan
pemeliharaanmu, sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya,
warga masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus
membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa’[7]
Memaknai Jihad
Saat ini yang terasa amat
mengenaskan sekali adalah insinuasi umat Islam untuk melakukan perjuangan ‘atas
nama Islam’ di Indonesia. Islam dibela dan diperjuangkan dengan pekik takbir
dan demonstrasi masa di jalanan, mengibarkan bendera-bendera dan menampilkan
simbol-simbol ke Islam an lainnya. Ghirah atau semangat untuk membela
dan memperjuangkan agama tidak bergandengan tangan dengan usaha untuk melakukan
pendalaman ilmu pengetahuan. Kuantitas masa dikedepankan sementara kualitas
pemberdayaan ummatnya di pertanyakan. Hadis rosul tentang ramalan umat yang
banyak tapi seperti buih amat relevan disini. Apakah yang hendak di bela dan
diperjuangkan adalah tidak menghasilkan buih bagi peradaban manusia? Dengan
pekik takbir dan kerumunan masa? Disisi ini saya mungkin berbeda dengan banyak
orang. Islam pernah di hormati dengan perjuangan dan sumbangsihnya dalam ilmu
pengetahuan. Perjuangan untuk diakui (competition of dignity) meminjam
istilah Francis Fukuyama, ilmuwan politik asal Amerika, menjadi ciri manusia
abad 21. Islam akan di akui dengan ilmu pengetahuan dan tradisi ilmiah yang
kuat, bukan dengan pekik takbir dan kerumunan masa. Hal ini penting seperti
diingatkan oleh Al Ghozali [8]
و ضرر الشرع ممن ينصره لا بطريقه اكثرمن ضرره ممن يطعن فيه بطريقه
"Dan kecelakaan agama dari
pembela yang tidak tahu caranya itu lebih besar daripada kecelakaan agama dari
pencela yang tahu caranya."
Lalu apa yang dibutuhkan untuk
memaknai hal tersebut agar tidak menjadi ‘kecelakaan agama (dhororus syar’i)?
Belajar dari sejarah, ketika
Al-Ghozali tidak sependapat dengan para cendekiawan tentang pengajaran ilmu
filsafat di zamannya. Yang dilakukannya adalah mengarang sebuah kitab berjudul
Tahaafut al Falasifah. Kemudian, ia mendapat sanggahan dari ulama lain bernama
Ibn Rusyd. Ketidaksetujuannya tidak di lampiaskan dengan cacian dan makian, tapi dengan mengarang
sebuah kitab berjudul Tahaafut at Tahaafut. Sikap dan tradisi ilmiah seperti
inilah yang merupakan contoh indah dari warisan islam masa lampau.
Barangkali menurut penulis, yang
dibutuhkan adalah suatu sikap untuk mau belajar pada sejarah dan tradisi para
ulama dan ilmuwan muslim. Kyai-kyai pondok pesantren dan ulama-ulama yang
memiliki kedalaman ilmu. Sejarah dan
tradisi keilmuan Islam adalah warisan penting bagi peradaban manusia. Tradisi
untuk bermusyawarah, bermudzakarah, majlis-majlis ilmu, komentar (ta’liqoot),
membuat penjelasan (syarah, hasyiyah) dan mencari mata rantai ilmu pengetahuan
(sanad) adalah warisan berharga. Yang di perlukan barangkali adalah suatu sikap
yang lebih ketat dan dialektika dengan realitas yang ada, agar terbuka
kemungkinan baru bagi ufuk sejarah perkembangan Islam.
[1] Lihat
Ihya Ulumiddin,Juz 1, hal 19 Cetakan Darul Kutub Ilmiyah
[2] Lihat
Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta : Mizan. Jakarta.
[4] Lihat
Understunding Science, University of California Museum of Paleontology (UCMP).
https://undsci.berkeley.edu.
[5] Lihat Shihab,
Muhammad Quraish. 1992. “Membumikan” al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
[6]
Penjelasan yang lebih detil lihat Jabiri, Mohammed Abid Al. t.thn. Formasi Nalar
Aarab. Yogyakarta: Ircisod.
[7] Lihat
Lihat Shihab, Muhammad Quraish. 1992. “Membumikan” al-Quran: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Hal 64. Bandung: Mizan
[8] Lihat Al
Ghazali, Tahafut Al Falasifah, Darul Maarif, Cairo hal 80
Title : ISLAM, ILMU dan TRADISI ILMIAH
Description : (Pengantar Diskusi Ramadhan Keluarga Muslim Fakultas Hukum) SNT, PMII Cabang Sleman Ig : pmiisleman/shidiqthoha Twitter : @pmiisl...
Description : (Pengantar Diskusi Ramadhan Keluarga Muslim Fakultas Hukum) SNT, PMII Cabang Sleman Ig : pmiisleman/shidiqthoha Twitter : @pmiisl...
0 Response to "ISLAM, ILMU dan TRADISI ILMIAH"
Posting Komentar