ISLAM, PERJUANGAN ILMU ATAU POLITIK (Bagian pertama)


"hier stehe ich und kann nicht anders."


Disini aku berdiri, biar tuhan yang menentukan. Aku tidak bisa berbuat yang lain -Martin Luther 


Essay ini ingin mencoba merangkum dan mendedah pergulatan penulis atas pilihan-pilihan yang mungkin bagi perjuangan Islam. Dimana perjuangan Islam adalah ekuivalen dengan perjuangan demi Indonesia juga. Pergulatan ini lahir dari proses, dialektika, diskusi dan perdebatan panjang penulis di PMII mengenai jalur perjuangan apa yang relevan dan efektif bagi Islam dan tentunya Indonesia. Apa semacam jalur perjuangan politik yang hendak di tempuhnya melalui mekanisme perebutan kekuasaan dan kerja-kerja penuh  keriuhan, atau jalur ilmu pengetahuan yang hendak di perjuangkannya melalui kerja-kerja keilmuan yang seringkali jauh dari keriuh-rendahan dan mensyaratkan ketekunan. Tentu penulis tidak pernah sampai pada kesimpulan yang tunggal dan final. Bahwa benar penulis pernah menjadi Pemimpin Umum Jurnal Tradisi membuat seringkali penulis identik dengan sosok yang teguh memperjuangkan sikap ilmiah dan budaya keilmuan. Tapi disisi lain, pertentangan tentang perjuangan politik menjadi concern penulis ketika melihat potensi maslahat yang bisa ditimbulkannya. Dan sayangnya seringkali penulis melihat kesalah-pahaman pengertian politik yang dipahami oleh banyak orang tanpa pernah mau mendiskusikannya terlebih dahulu. Politik selalu dimaknai sebagai sensasi dan kerja-kerja panggung gembira-ria dan sering berhenti disitu. Tanpa pretensi untuk condong kepada salah satu state of art terlebih dahulu, pertama penulis mencoba mendedah kedua tema tersebut. Setidaknya dua tema itu menjadi penting bagi gerakan mahasiswa Islam seperti PMII untuk menentukan, membaca peluang masa depan, belajar dari sejarah dan membariskan gerakan dalam satu barisan yang kokoh demi terciptanya cita-cita yang ditujunya. Alasan lain yang tidak kalah penting adalah alasan yang disampaikan oleh M Natsir, salah seorang tokoh Masyumi, bahwa menguasai dan membina kampus adalah menguasai dan membina masa depan negara.


Pertama
Islam sangat menghormati ilmu pengetahuan. Sudah banyak dijelaskan posisi ilmu pengetahuan dalam Islam. Bahkan salah satu ciri seorang ulul albab adalah dia yang haus akan ilmu pengetahuan. Sejarah kegemilangan Islam yang terhampar dari abad ke 7-13 adalah sejarah kegemilangan umat yang penuh dengan prestasi ilmu pengetahuan. Dulu umat Islam pernah menjadi umat yang disegani karena mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan hebat mulai dari ilmuwan sosiologi, hukum/fiqh, gramatika/linguistik/nahwu-shorof, politik/siyasah, sejarah/ilmu tarikh, kimia, kedokteran dan lain sebagainya. Bintang-bintang cemerlang seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M), Al-Fazari (w. 796/806 M), Al-Farghani (w. 870 M), Al-Kindi (801-873 M), Al-Khawarizmi (780-850 M), Al-Farabi (874-950 M), Al-Mas’udi (896-956 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Razi (1149-1209 M), Al-Haitsami (w. 1039 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), dan Ibn Rushd (1126-1198 M) memberikan sumbangan yang tiada tara bagi ilmu pengetahuan dan perdaban manusia. Manfaatnya melampaui zaman, tanpa sekat agama dan bangsa. Dunia berterima kasih kepada Islam karena ilmu pengetahuan. Itu argumen warisan tradisi dan kesejarahan kenapa perjuangan ilmu masih menjadi agenda penting.
Tapi berbagai gugatan muncul sering dengan lemahnya budaya dan sikap ilmiah yang terjadi dalam sejarah umat Islam. Salah satunya disampaikan oleh Syekh Jauhar Thontowi, salah seorang Syaikhul Azhar, Mesir. Syech Jauhar Thontowi dalam kitab tafsirnya Jawahir menyebutkan bahwa kondisi tradisi ilmiah dalam dunia Islam amat mengenaskan saat ini. Produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan umat Islam sangat minim. Jika ada pun terbatas pada ilmu Fiqh. Padahal menurut beliau dari ribuan ayat Quran, ada 750 ayat kauniyyah yang bicara tentang realitaas manuia, sosial dan alam semesta. Dan hanya 150 ayat yang berbicara Fiqh dalam Al Quran. Selain kemudian anjuran, ajakan untuk melakukan eksplorasi terus menerus terhadap realitas alam semesta dan sosial-masyarakat. Perkembangan ilmu dalam Islam terasa mandul, padahal lebih dari 43 kali dalam Al Quran, Alloh menyebut afala ta’qiluun dan 10 kali menyebut afala tatafakkaruun. [1]
Jika hari ini kita diminta untuk membaca realitas ilmu pengetahun di Indonesia ada kritik yang lebih tajam lagi. Dua yang penulis sebut disini disampaikan oleh Ignas Kleden dan Yasraf Amir Pilliang. Kleden misalnya menyebut realitas ilmu di Indonesia jelas mengandung ciri pendidikan ala Eropa. Sekolah dan universitas yang berkembang di Indonesia adalah kelanjutan dari pendidikan yang ada pada masa kolonial. Tak pelak model produksi dan reproduksi para ilmuwan, intelektual kita selalu lahir dari rahim dan logika eropa yang terbaratkan[2]. Atau apa yang menjadi kritik Yasraf Amir Pilliang sebagai model pendidikan yang semata meniru, membunuh sikap ilmiah, kritis, kepeloporan serta tumbuh dan lahir dari logika industri dan menciptakan pribadi-pribadi yang individual.[3] Jika melihat dari kritik yang disampaikan diatas, kita bisa tarik bahwa ada problem mendasar di sana. Yaitu nihilnya nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Dalam esay ini, penulis akan fokus terlebih dahulu pada problem Islam terlebih dahulu.
Perkembangan sejarah telah membuat ilmu pengetahuan didominasi oleh barat sama sekali. Untuk mengetahui secara sederhana, setidaknya ada tujuh hal untuk mengetahui apakah suatu pekerjaan itu merupakan kerja-kerja keilmuan atau bukan.[4] Tujuh hal itu, 1.Dokus pada dunia ‘natural’ 2. Bertujuan untuk menjelaskan dunia ‘natural’ 3. Menggunakan ide-ide yang bisa di test 4. Berpijak pada bukti 5. Berkaitan dengan komunitas ilmiah 4. Memungkinkan untuk riset lebih lanjut 5. Manfaat dari sikap ilmiah.
Jika kita cermati, kemudian ada perbedaan mendasar antara sains yang dipahami dalam tradisi Islam. Utamanya dalam pengertian ‘natural’. Apa yang disebut dengan ‘natural’. Dalam tradisi Barat, ‘natural’ dimaknai sebagai suatu hal yang bisa diindera atau empirik. Selain itu, ilmu selalu dinisbatkan sebagai hal yang ‘bebas nilai’. Ilmu dipisahkan dari fungsi dan nilai etiknya. Penulis mencoba jelaskan beberapa karakteristik yang berbeda dari prinsip ilmu dalam dua tradisi tersebut.
Dalam Islam terdapat dua kalsifikasi ilmu secara umum.Yang pertama adalah ilmu yang didapat tanpa belajar dan bersifat intuitive (perennial knowledge). Ilmu-ilmu ini didasarkan pada wahyu ilahi yang tertera dalam Al Quran dan Hadist.Yang kedua adalah ilmu yang dicari (muktasab/acquired knowledge). Termasuk dalam hal ini adalah sains modern, ilmu-ilmu ke alaman dan sosial. [5] Bagi Islam objek ilmu adalah dunia material (physical world), oleh karenanya Al Quran selalu menganjurkan untuk mengadakan obseervasi dan eksperimen dan menggunakan akal serta intuisi. Karena disamping itu,Al Quran juga mengakui adanya realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Seperti dalam Al Quran : Maka aku bersumpah atas apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS  69:38-39). Dalam hal ini bisa kita lihat perbedaan konsepsi ‘natural world’ dalam dua tradisi yang berbeda[6].
Hal itu berimplikasi lebih jauh. Sikap tidak menerima selain yang bisa diterima panca indera mengakibatkan absennya tuhan dan dimensi spiritual dalam tradisi ilmiah barat. Yang lebih berbahaya lagi, ilmu adalah semata kepentingan pribadi. Dalam Islam, ilmu selalau bermakna spiritual.Hal itu bisa dilihat dari ayat Iaro, yang disertai dengan Ismi Robbika. Sains tidak pernah murni untuk dirinya sendiri, riset-riset tidak pernah murni untuk riset atau kepentingan dirinya sendiri. Ilmu ketika dikaitkan dengan Ismi robbika, kata Prof A Halim Mahmud, menjadi ‘demi tuhan pemeliharaanmu, sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa’[7]
Lalu bagaimana merumuskan agenda perjuangan ilmu?. Setidaknya kita harus mendiskusikan dan merumuskan dimensi-dimensi perjuangan ilmu. Ini diperlukan guna menghindari kesalahpahaman dan reduksi bahwa ilmu adalah semata diskusi-wacana-menulis. Hal yang selama ini menjadi kesalah-pahaman banyak pihak. [8]
Kedua
To be continued

[1] Lihat Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta : Mizan. Jakarta.
[2] Lihat Ignas Kleden, Membangun Tradisi tanpa Sikap Tradisional : Dilema antara Kebudayaan dan KeIndonesiaan. Jurnal Prisma. 1989. LP3ES : Jakarta
[3] Lihat Yasraf Amir Pilliang, Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. 2005. Jalasutra : Jakarta.
[4] Lihat Understunding Science, University of California Museum of Paleontology (UCMP). https://undsci.berkeley.edu.
[5] Lihat Shihab, Muhammad Quraish. 1992. “Membumikan” al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
[6] Penjelasan yang lebih detil lihat Jabiri, Mohammed Abid Al. t.thn. Formasi Nalar Aarab. Yogyakarta: Ircisod.
[7] Lihat Lihat Shihab, Muhammad Quraish. 1992. “Membumikan” al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Hal 64. Bandung: Mizan
[8] Tulisan bagian pertama ini penulis sarikan dari esay penulis ‘Islam dan Tradisi Ilmiah’ yang penulis sampaikan dalam diskusi Ramadhan Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM. Ada beberapa perubahan dan tambahan sedikit.

Title : ISLAM, PERJUANGAN ILMU ATAU POLITIK (Bagian pertama)
Description : "hier stehe ich und kann nicht anders." Disini aku berdiri, biar tuhan yang menentukan. Aku tidak bisa berbuat yang lain -M...

0 Response to "ISLAM, PERJUANGAN ILMU ATAU POLITIK (Bagian pertama)"

Posting Komentar

Histats

Total Tayangan Halaman

PR

PageRank Checker