SNT
Ternyata hidup itu aneh dan serba tidak terduga. Salah satunya
adalah tentang skripsi. Saat muter-muter mencari tema skripsi apa yang menarik,
akhirnya ketemu tema skripsi tentang teknologi digital. Karena studi filsafat politik, akhirnya
mencari relevansi dengan demokrasi. Jadi pertanyaanya menjadi relevan begini,
bagaimana hubungan antara teknologi digital dan demokrasi. Apakah demokrasi (norma,
prinsip serta institusi-institusinya) yang merupakan produk dari abad ke 18
masih cukup relevan dengan perkembangan teknologi saat ini?. Dan setelah
muter-muter kok rasanya sangat susah banget mencari pendekatan teoritiknya. Kok
kaya belum ada ilmuwan, atau bahkan filosof atau tokoh siapapun yang kemudian
nyinggung masalah teknologi digital seperti Internet, Twiter, Youtube,
Facebook. Hampir non-sense. Dan saya tidak mungkin berharap pada apa yang telah
didapatkan dikampus, karena problem itu juga masih sangat jarang didiskusikan. Dan
tanpa diduga, semuanya kembali pada pengalaman Jurnal TRADISI edisi pertama.
Tidak dirasa, ini
adalah perluasan tema saja dari diskusi bermalam-malam para awak Tradisi
tentang digitalisasi. Diskusi tentang betapa banyak institusi seperti negara, masyarakat,
sipil terlambat beradaptasi terhadap perkembangan yang sangat cepat dan
serba-jaringan ini. Tema ini dulu diajukan oleh A Thovan Sugandi, Pimred TRADISI
kala itu,sekitar tahun 2017. Dan tema ini lama didiskusikan, ditulis serta
diperdebatkan para awak kala itu. Tentu dengan proses yang tidak bisa dianggap
enteng. Pembimbing kita waktu itu, Kang Hasan Bachtiar yang kemudian menantang
membongkar inadaptibilitas banyak lembaga dalam merespon perubahan
tersebut. Smartcity, digital election, digital capitalism dan homo
digitus menjadi turunan dari diskusi kita kala itu. Tentu masih banyak yang
belum didiskusikan. Tetapi rasanya banyak sekali sekarang yang telah
didapatkan. Bahkan sempat kala itu menyusun rancangan riset tentang kesiapan Islam,
NU atau pondok pesantren menghadapi era perubahan serba digital tersebut.
Sayang, dengan segala keterbatasa, masih belum bisa terealisasikan.
Salah satu hal
yang kemudian aku sadari adalah tulisan Azka kemarin. Kenapa minim sitasi dan
referensi. Aku sempet bertanya-tanya. Tetapi meskipun aku menjadi Pembantu Umum,
secara akademis Azka lebih tinggi dariku. Setelah menelusuri kepustakaan
skripsi. Aku baru sadar betapa terbatasnya pendekatan saintifik untuk
menelusuri masalah itu. Aku masih ingat judulnya Homo Digitus. Manusia yang
akan berubah menjadi digit. Titik berangkatnya dari karya Yuval Noah Harai yang
berjudul Homo Deus. Dari pengalam skripsiku ini, tema tentang digital baru
digarap serius tahun 2017 akhir sampai 2019 ini. Dan waktu itu, tahun 2016
tentu adalah sebuah tantangan tersendiri bukan?
***
Foreign Affairs salah satu majalah kenamaan Amerika menurunkan
artikel berseri tentang kematian demokrasi Amerika karena kesalahan sistemik
dan paradoks internal dari pengembangan demokrasi yang terjadi selama ini. Hal
ini diperkuat dengan hasil riset Yascha Mounk, salah seorang pengajar Departemen
Pemerintahan Universitas Harvard dalam risetnya tentang Dekonsolidasi Demokrasi
yang terjadi. Dari hasil survey tersebut, ditunjukan peningkatan orang-orang
yang memiliki ketidakpercayaan yang tinggi terhadap norma dan institusi
demokrasi. Dari tahun 2002 angkanya terus meningkat menyentuh 25 persen. Angka
itu berbeda di negara-negara yang pernah disebut sebagai establish democracy
seperti Amerika, Skandivania, Norwegia, Polandia, Australia dan lain-lain. Sikap
ketidak percayaan terhadap institusi demokrasi, norma-norma demokrasi seperti
kebebasan, kesetaraan, hak-hak minoritas, pasar bebas yang lama itu
dipertanyakan lagi oleh banyak kalangan yang legitimate untuk memasukkan
kategorinya ke dalam apa yang istilah filsafat ‘the people’.
Ini belum pernah terjadi
dalam ‘akhir sejarah’ kemenangan demokrasi. Utamanya setelah keruntuhan Soviet.
Dan banyak ilmuwan yang masih meraba-raba wilayah terra incognita ini.
Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tidak ada teori yang kemudian dianggap bisa
menjelaskan perubahan yang anomali dalam ilmu sosial ini. Salah satu pendekatan
yang sering digunakan untuk menjelaskan kemapanan demokrasi atau yang lazim di
sebut established democracy countries adalah demokrasi sebagai
satu-satunya pemain dalam sebuah negara ‘only game in town’. Dan saat ini tidak ada penantang serius dari
demokrasi bukan? Kenapa ketidakpercayaan terhadap demokrasi terus meningkat di
banyak negara dan jika ini di prediksi, tentu menjadi turbulensi baru bagi
stabilitas ekonomi dan politik.
Kemudian orang mulai
meneliti tentang pengaruh sosial media seperti Twitter, Facebook, Youtube dan
lain bagi perkembangan demokrasiatau aksi-aksi kolektif (collective action). Itu baru terjadi ketika kita dikejutkan oleh
kemenangan Trump di Amerika, Orban di Hungaria, Duterte di Filipina dan
keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Saat ini, ketika ditanya, apakah orang-orang
masih berharap pada pemimpin yang dilahirkan dari institusi demokrasi? Hampir 30 persen dari data World Survey
menyatakan mereka menghendaki ‘pemimpin tunggal yang kuat’ atau bahkan bukan suatu masalah ‘pemimpin
militer’. Sesuatu yang selama ini dianggap tidak sejalan dengan norma dan
prinsip-prinsip demokrasi. RIset- risetnya baru berkembang di Univ-Univ seprti Harvard, Cambridge dan lain-lain. Tapi kemudian banyak penelitian (yang pesimis banyak
sekali) menganggap perkembangan teknologi digital akan mengarah para pelemahan
demokrasi. Meskipun banyak yang menganggap perkembangan internet dan teknologi
digital lainnya secara inheren adalah demokratis.
Tapi siapa yang tahu, nanti
perkembangan dari Google, Twitter, Facebook. Apakah para ilmuwan sosial bisa
melakukan pembacaan terhadap algoritma data? Hidden Agenda dan manipulasi pesan
dari platform teknologi digital tersebut yang ‘hyper-interconnected,less-borders’
tersebut? Dan apakah negara atau institusi demokrasi memiliki power dalam
akumulasi pengetahuan dan data sebesar platform teknologi-teknologi tersebut?
Sepertinya masih sangat jauh.
***
Yang terakhir
kebetulan aku yang menulis tentang perkembangan Google. Jadi ada di Jurnal
TRADISI. Tapi hidup memang amat mengejutkan. Tanpa dinyana di tendang oleh
sejarah untuk menginisiasi TRADISI. Memoderatorinya karena sejarah yang
ngglundung. Dulu terlibat dalam pasang dan surut. Aku jadi orang yang sangat
cuek. Pokoknya demi TRADISI apapun akan aku lakukan. Nda peduli yang lain. Tidak
disukai karena itu juga udah yah biasa. Minim
memahami partnerku siapa dan memang karena hal-hal kondisional waktu itu. Dan tanpa
disadari, ternyata kembali ke titik itu lagi, ke diskusi itu lagi. Dan apakah
sekarang akan terjadi lagi yang terakhir itu saat ini? Aku merasa dan melihatnya
bakal terjadi sekali lagi. Sedih, tapi gimana lagi. Semoga tidak berakhir
dengan buruk.
x
Title : Teknologi Digital dan Demokrasi
Description : SNT Ternyata hidup itu aneh dan serba tidak terduga. Salah satunya adalah tentang skripsi. Saat muter-muter mencari tema skripsi apa yan...
Description : SNT Ternyata hidup itu aneh dan serba tidak terduga. Salah satunya adalah tentang skripsi. Saat muter-muter mencari tema skripsi apa yan...
0 Response to "Teknologi Digital dan Demokrasi"
Posting Komentar