Indonesia di prediksi akan masuk menjadi negara dengan ekonomi
terbesar nomor lima terbesar di dunia. Bersanding dan berurutan dengan berbagai
negara dengan peradaban yang besar seperti Amerika, India, China. Tidak
tanggung-tanggung, hal ini didasarkan atas berbagai hasil riset lembaga lembaga bereputasi tinggi seperti PWC
dan Bank Dunia atau bahkan riset yang di keluarkan oleh BAPPENAS. Hal itu
didasarkan atas berbagai argumen, seperti Indonesia akan menjadi negara dengan
usia produktif paling tinggi di dunia pada tahun itu, ekonomi makro yang tumbuh
secara stabil di tengah kecenderungan krisis ekonomi global, dibuktkan dengan
diakuinya Indonesia menjadi bagian dari G-20 serta kekayaan anugerah sumber
daya alam. Hal yang patut dicatat penting adalah Indonesia merupakan negara
yang dinilai berhasil menjalankan demokrasi. Bahkan termasuk negara besar
demokratis setelah Amerika dan India. Dengan pertimbangan ini, Indonesia sangat
mungkin akan menjadi negara adidaya.
Negara adidaya mencerminkan penyangga sebuah peradaban. Sejarah
mencatat, peradaban-peradaban besar bangkit dan tenggelam bersama tiang
penyangganya. Peradaban besar dunia yang kini eksis disangga oleh negara-negara
sebagai tiang penyangganya. Peradaban Barat (Judeo-Kristen) disangga oleh
Amerika Serikat dan Eropa sebagai tiang penyangganya, peradaban Timur yang
diwakili oleh Konfusianisme dan Taoisme disangga oleh negara China. Kini China
dan Amerika sedang terlibat perang dagang, banyak analisis mengatakan bahwa hal
itu adalah permulaan untuk mempertahankan klaim keunggulan peradabannya.
Dominasi barat dinilai memudar, dan China belum tentu akan memberi warna yang
lebih baik. Di Asia Timur, ada peradaban Hindhuisme disangga oleh India yang
mulai menggeliat menjadi negara demokrasi terbesar di dunia. Ada peradaban yang
belum lama berjaya dan kini tergopoh dalam kungkungan kemunduran. Penduduknya
banyak, sumber-dayanya kaya dan tersebar di seluruh dunia, peradaban Islam.
Tapi sampai saat ini belum diketahui siapa dan dimana negara penyangganya.
Islam pernah berjaya dan disegani. Tapi saat ini bukannya disegani,
tapi malah ditakuti dan diberi stigma yang amat negatif. Negara-negaranya
terlibat dalam konflik dan lumpur permasalahn yang tak diketahui kapan akan
usai. Sehingga menjawab pertanyaan, siapa negara penyangga peradaban Islam
bukan hal yang mudah. Banyak negara Islam, menerapkan syariat Islam tapi
dinilai dari berbagai indikator tidak mencerminkan nilai-nilai Islami sama
sekali. Arab Saudi sulit diharapkan karena Wahabisme-Arabnya yang terlalu kolot
meski Ka’bah yang merupakan pusat agama Islam berada disana. Kekayaannya
disangga oleh minyak, dan minyak suatu saat akan habis. Mesir masih gagal untuk
melaksanakan transisi demokrasi setelah runtuhnya rezim otoriter. Konstitusinya
masih bimbang apakah akan memilih Islam atau demokrasi dan saat ini terjebak
kembali ke dalam pemerintahan militer entah sampai kapan. Iran merupakan negara
digdaya tetapi mayoritas penduduknya adalah Syiah, yang pengikutnya merupakan
minoritas dalam dunia Islam. Turki masih
belum bisa diharapkan karena karakternya yang masih kebingungan memilih
sekulerisme ala Eropa atau Islam. Sementara negara-negara lainnya seperti Irak,
Suriah, Afghanistan masih disibukkan dengan perpecahan dan banyak masalah
lainnya. Timur Tengah tidak punya harapan sepertinya. Kini pandangan dialihkan
ke negara-negara Asia. Malaysia meski negara Sunni dan merupakan negara yang
relatif maju tapi penduduknya terlalu kecil, begitu juga Brunei. Indonesia dari
banyak segi dan indikator dinilai layak untuk menjadi tiang penyangga peradaban
Islam.
Tapi sejumlah problem akan
menarik untuk didiskusikan. Jika hipotesis itu benar, Islam seperti apa yang
akan menjadi tiang penyangganya?. Dari berbagai riset tentang demokrasi saat
ini, ancaman nyata di berbagai negara yang menganut demokrasi liberal adalah
bangkitnya gerakan populisme, turunnya kepercayaan terhadap institusi dan
nilai-nilai demokrasi yang seringkali berujung pada tribalisme dan sesionisme.
Dan Indonesia meski jarang diakui, adalah salah satu penganut demokrasi liberal
itu. Tantangan utamanya adalah menghalau gerakan populisme ini. Dalam konteks
Indonesia adalah populisme Islam yang beririsan dengan gerakan fundamentalisme
dan intoleran. Dari riset-riset tentang berbagai institusi, lembaga dan
kalangan yang terpapar radikalisme,
ancaman itu nyata. Apakah Indonesia berpotensi jatuh menjadi negara seperti
Mesir dengan Ikhwanul Musliminnya yang menghendaki konstitusi Islam dan
terjerumus dalam lubang kemelut tak berkesudahan? Padahal Indonesia dinilai
sebagai negara yang berhasil melakukan sintesis antara agama dan demokrasi.
Meski sintesis itu bukan tanpa harga dan dinamika. Itu kemungkinan pertama,
kemungkinan yang lebih baik mungkin kalau semisal prediksi BAPPENAS dan asumsi
diatas terbukti, Islam manakah yang akan memimpin? ASWAJA atau yang lain?
ASWAJA PILIHAN BASIS MORAL
Sejarah membuktikan, bahwa sintesis Islam dengan demokrasi modern
di Indonesia bukan perkara yang mudah. Islam pernah menjadi substansi yang
sangat serius diperdebatkan oleh para founding-fathers kita. Sampai sebuah legacy
besar lahir, bahwa Islam tidak perlu di formalkan dalam kehidupan bernegara,
meski mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Islam tidak manjadi rujukan
bagi teks konstitusi, dan Indonesia hadir bukan sebagai negara Islam, tapi
negara monoteis. Sila pertama, ketuhanan yang maha esa, melandasi seluruh sila
yang ada. Pengalaman tersebut nyatanya bukan hal yang mudah, karena banyak
pengalaman di berbagai negara seperti Mesir, Turki, Arab Saudi dan lain-lain
yang tak pernah berhenti bertikai dan dilanda perdebatan. Meski ‘klaim saham
mayoritas’nya harus dibayar dengan berdirinya lembaga-lembaga negara seperti
Departemen Agama, MUI dan lain-lain yang agak aneh dalam negara penganut
demokrasi liberal. Tapi Islam di Indonesia telah memiliki legacy besar
dalam sejarahnya. Meski pernah
diperdebatkan secara serius, substansinya tak pernah menimbulkan pergolakan
berdarah-darah.
Alasan utamanya mungkin adalah karena Islam di Indonesia disangga
oleh organisasi ASWAJA dengan jumlah pengikut yang besar. NU dan Muhammadiyah. NU
tidak pernah sekalipun menginginkan Indonesia menjadi negara Islam atau
Khilafat Islamiyyat. NKRI dirumuskan melalui rumusan keagmaan yang sangat
ciamik, Hubbul Wathon minal Iman. NU tidak pernah tertarik pada gejala
arabisasi atau internasionalisasi Islam. Dan karena itulah, dilaketika
kebangsaan dan keislaman dalam Nahdlotul Ulama selalu terjadi dalam dialektika
yang progresif. Hal ini berbeda dengan pengalaman negara-bangsa dan
demokrasi yang terjadi di Timur Tengah sana yang kerapkali menuduhnya menjadi
bagian dari kehancuran Islam di kekhalifahan Ottoman. Bubarnya Imperium Islam
itu pada tahun 1924 beriringan dengan disintegrasi bangsa Arab kedalam
negara-negara kecil sepereti Mesir, Arab Saudi, Syiria dan Turki. Pergolakannya
tak pernah putus berhenti. Demokrasi dan negara-bangsa dituduh sebagai produk sekuler
(al-fikr ilmany), produk dari konspirasi barat yang bertujuan untuk
memecah belah Islam.
Secara historis, perkembangan Islam di Indonesia dilakukan dengan
pendekatan budaya. Penyebar Islam kala itu, yakni para Walisongo, adalah ulama
Arif yang melakukan pendekatan substansialisasi Islam. Islam dikembangkan dalam
bentuk nilai-nilai substansinya tanpa perlu mengubah secara radikal budaya-budaya
yang ada. Islamisasi walisongo adalah menyusupi isi dengan tanpa mengubah
bentuk luarnya. Oleh karenanya, para Walisongo tidak membabat secara radikal
pengaruh-pengaruh kebudayaan sebelumnya seperti animisme, dinamisme, Hinduisme,
Buddhisme dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dari model dakwah Sunan Kalijaga
yang menjelmakan Islam dalam istilah kejawen tapi substansinya sebenarnya
Islam. Seperti Jimat Kalimasada, Sekaten dan lain-lain.
BASIS MORAL BUKAN ISLAMISASI
Setidaknya ada tiga nilai utama dalam prinsip Ahlussunah wal
Jamaah, yakni Tawasuth, Tawazun dan Tasamuh, Ketiga prinsip itulah yang selama
ini menjadi norma hidup masyarakat muslim di Indonesia sehingga Islam di
Indonesia bisa diterima seperti sekarang
ini. Ketiga prinsip merupakan pemerasan sari-pati nilai-nilai Islam.
Secara general, nilai-nilai Aswaja adalah nilai-nilai Islam yang dimaknai
secara universal juga. Lalu, dimanakah fungsi aswaja? Apakah ia sama dengan
islamisasi? Tidak mudah menjawab hal ini.
Dalam perjalanan panjang penulis berdiskusi dan berdialektika,
banyak para aktivis dan kader yang memnadang bahwa yang perlu dilakukan adalah “mejamin
nilai-nilai Aswaja dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, budaya,
teknologi dan lain-lain”. Itu setidaknya yang diajarkan dalam jenjang pelatihan
dan kaderisasi yang pernah penulis ikuti. Dan sayangnya, penulis lama mengidap
kepercayaan tersebut. Aswajanisasi segala aspek kehidupan. Yang sekarang
penulis anggap bahwa aswajanisasi itu sama dengan proyek islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisai
pengetahuan yang menghendaki Islam bisa menjadi alternatif, dimulai dari bidang
ilmu pengetahuan, artinya dimulai dari kalangan terdidik. Segala bidang
kehidupan pada nantinya harus dilekati simbol-simbol Islam.
Islamisasi menurut penulis, berangkat dari pengalaman historis dan
psikir orang-orang yang kalah. Dan jika aswajanisasi hendak dilakukan, tentunya
mengidap penyakit yang sama. Islamisasi digaungkan kembali setelah lama ummat
Islam dirundung kekalahan bertubi-tubi. Dalam bidang sains dan politik pada
awal mulanya. Sebagai peradaban yang pernah besar memimpin dunia, umat Islam
menjadi gemar memilah-milah ilmu umum dan ilmu agama. Memilah-milah ilmu yang
favorit dan yang tidak. Kekalahan itu menjadi paripurna dengan penyerbuan
militer Barat yang kemudian menjajah negeri-negri kawasan Muslim. Umat Islam
diserbu modernisme sebagai hal yang tidak terelakkan. Dan pada puncaknya,
adalah keruntuhan Khalifahan Islam yang merupakan konsekuensi ‘nasionalisme’ impor
dari Barat pada tahun 1924
Dalam kondisi psikis seperti itulah, umat Islam jadi rajin
berbicara tentang alternatif dari Barat. Sikap eksploratif,berani mengambil
tantangan berubah menjadi penakut dan defensif. Barat ditolak bukan hanya
militernya saja, tapi nalar pencerahannya juga. Sikap keterbukaan hilang beriring
dengan sikap keterbukaan berfikir. Tradisi intelektualitasnya rendah, politik
dan ekonominya tidak stabil. Semangat kompetisi yang dirasat tidak mungkin,
coba ditutupi dengan mencari jalan alternatif. Akibatnya umat Islam jadi rajin
menengok masa lalu, tetapi meninggalkan sikap yang mendasarinya.
Kecenderungan ini bukan hanya berbahaya, tapi usaha ijtihadnya juga menurut penulis
sia-sia. Apa hasil islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini? Atau dengan
mengasosiasikan dengan ASWAJA, apa hasil diskursus aswajanisasi selama ini?
Laporan penelitian, paper riset, hasil karya inovasi atau sesuatu yang lain. Yang
ada adalah melihat sisi formalnya dengan mengabaikan semangat yang mendasarinya.Semangat
itu misal tercermin dari duel intelektual antara Imam Ghazali yang menyerang
pemikiran Ibnu Sinna dalam magnus oppusnya Ihya Ulumiddin, yang kemudian
dibalas kembali oleh Ibn Rusyd. Atau
perdebatan KH Hasyim Asyari dan Kyai Faqih Maskumambnag tentang hukum kentongan
dan bedug dalam Jurnal NU pada awal-awal pendiriannya. Penuh semangat ilmiah,
keterbukaan pada perbedaan dan kedewasaan berfikir. Karena ilmu bersifat universal, islamisasi (begitupula aswajanisasi) menjadi sesuatu yang tidak relevan. Al Ilm Doolatul Mukminin, ilmu adalah benda berharga umat islam yang hilang.
Menjadikan ASWAJA sebagai
basis etis, artinya menjadikan nilai dan prinsip aswaja sebagai acuan norma
dalam segala kehidupan umat Islam. Menjadi acuan bagi sistem ilmu, karena yang
banyak hilang dari ilmu dewasa ini adalah masalah nilai (lack of value). Ilmu sering
dianggap sebagai sesuatu yang bebas-nilai. Terlalu membuang tenaga untuk
melakukan kritik epistimologis, atau melakukan aswajanisasi. Karena problem dan
isu yang lain jauh lebih penting untuk didiskusikan dan dipelajari.
Kembali ke pertanyaan awal diatas. Siapa yang akan memimpin
peradaban Islam, jika Indonesia, Islam seperti apakah, jawabannya adalah tidak ada
pilihan lain kecuali Islam Ahlussunah Wal Jamaah. Islam yang mementingkan
subtansi dan isi. Islam yang bisa bersanding dengan budaya, negara-bangsa dan
demokrasi. Dalam hal inilah, PMII sebagai kader muda Aswaja diharapkan dapat
menopang basis material ,moral dan intelektualnya. Dan posisinya adalah sebagai
basis etis, bukan epistimologis.
*Tanpa catatan kaki, sumber diambil dari berbagai referensi.
Title : ASWAJA, BASIS MORAL KEBANGKITAN
Description : Indonesia di prediksi akan masuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar nomor lima terbesar di dunia. Bersanding dan berurutan dengan b...
Description : Indonesia di prediksi akan masuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar nomor lima terbesar di dunia. Bersanding dan berurutan dengan b...
0 Response to "ASWAJA, BASIS MORAL KEBANGKITAN"
Posting Komentar