Ber-PMII adalah sebuah anugerah dalam proses panjang penulis
mengarungi kehidupan ini. Ia bukan hanya mengajarkan tentang apa arti
persahabatan dan belajar banyak hal yang tidak mungkin bisa akan ditemukan di
ruang-ruang kuliah ataupun perpustakaan. Tapi yang lebih penting, ber-PMII
adalah sebuah proses, petualangan intelektual (scientific journey) dan
perjuangan yang tidak akan pernah ditemui titik selesainya. Ia adalah
kontinuitas sekaligus diskontinuitas. Adalah proses menjadi (becoming)
bukan proses jadi (being) dalam sebuah lintasan panjang, bagi penulis
setidaknya. Artinya dinamika yang terjadi, suka dan duka, adalah merupakan
proses yang berkoinsidensi, sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam
perjalanan panjang setiap anggota maupun kader yang ada di PMII. Ber-PMII tidak
hanya mengajarkan sebuah nilai dan idealisme, tetapi juga mengajari bagaimana
sebagai individu membangun kolaborasi di antara sumber daya, input anggota dan
ekosistem organisasi dengan tingkat keragaman yang amat tinggi.
Belum lama ini, beberapa kali penulis mendapat sebuah pertanyaan
dasar tentang apa sebenarnya arah dan tujuan PMII. Pertanyaan yang mungkin akan
muncul bagi setiap anggota dan kader baru untuk terus digali dan dijawab pada
setiap masanya. Pertanyaan tentang alasan eksistensial (raison d etre)
kenapa setiap anggota dan kader harus meluangkan banyak dari pikiran, tenaga,
waktu dan lain-lainnya untuk mau bersama membangun-berkolaborasi dalam sebuah
wadah bernama PMII. Karena pertanyaan tersebut merupakan sebuah pertanyaan
mendasar, butuh jawaban-jawaban mendasar pula atas pertanyaan tersebut.
Pertanyaan yang terlalu amat sering ditanyakan oleh anggota baru maupun kader
lama yang berproses di PMII. Pertanyaan yang memiliki nilai relevansi dan
universalitas sebagai usaha menjawab pertanyaan raison d etre PMII tersebut.
Tulisan ini ingin berkontribusi membantu menjawab pertanyaan tersebut dalam
sebuah jawaban umum (general) yang tidak terlalu spesifik. Meski begitu,
penulis akan mencoba membuat alasan-alasan mendasar tentang arah PMII dan
bagaimana kemungkinan hal tersebut akan dispesifikkan dalam kegiatan atau
proses menjadi (becoming) di PMII.
Sebenarnya ke mana arah PMII?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita akan menelusuri sebuah
pertanyaan awal terlebih dahulu. Kenapa PMII harus ada atau apa alasan PMII di
dirikan?
Pertama, walaupun mungkin dirasa kurang relevan dengan pertanyaan
arah PMII. Penulis merasa perlu menyebut alasan pendirian (raison d’etre)
didirikannya PMII. PMII semenjak awal didirikan adalah sebagai upaya menghimpun
kader-kader muda yang memiliki latar belakang NU yang terserak di banyak
organisasi. Usaha itu timbul tenggelam dengan coba didirikannya IMANU di
Jakarta tahun 1955, PMNU di Bandung 1955, pembentukan departemen perguruan
tinggi NU oleh Pengurus Pusat IPNU. Tapi semua upaya itu gagal atau hanya
bersifat lokal saja.[1]
Sehingga dibentuklah PMII pada tahun 1960 di Surabaya dengan ketua pertamanya
Mahbub Djunaidi. Dari sini penulis ingin mengambil sebuah premis bahwa semenjak
awal PMII memang dimaksudkan sebagai wadah organisasi kalangan mahasiswa NU
yang tersebar di berbagai perguruan tinggi. Kalangan yang dalam riset survey
Alvara merupakan 2/3 dari jumlah total jamaah umat Islam di Indonesia.
Maka, arah PMII pada awalnya adalah menjamiyyahkan jamaah dari kalangan
yang terserak dan tersebar itu.
Kedua, sebagaimana tertulis dalam dokumen konstitusi PMII, baik
Peratruran Organisasi. Dalam dokumen konstitusi tersebut disebutkan bahwa
tujuan PMII adalah membentuk kader yang bercitra diri ulul albab, berkesadaran
histotris primordial. Sebuah arah yang terasa utopian dan memiliki ukuran yang
relatif tinggi. Meski itu, alasan kedua ini menurut penulis, gagasan tersebut
memiliki relevansinya dalam kehidupan sehari-hari dan kemauan atau kesediaan
untuk belajar atau mendengarkan dari banyak isu dan perspektif. Karena yang
lebih sulit adalah belajar atau kesediaan untuk mendengar orang lain, bukan
orang lain yang coba untuk terus didengarkan oleh kita semua. Membentuk apa
yang dikatakan oleh Dawam Rahardjo sebagai kalangan intelegensia.[2]
Sebuah sub-kelas masyarakat yang memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki
kesadaran dan kemauan untuk membangun masyarakat. Intelegensia memiliki
kecerdasan, oleh karenanya ia lahir dari kalangan terdidik, akan tetapi yang
lebih penting ia memiliki kepekaan atas nasib masyarakatnya. Itulah citra diri
ulul albab, inteligensia. Kecerdasan dan kepekaan.
Lalu kemana arah PMII?
Setiap anggota dan kader mungkin akan memiliki perspektif yang
berbeda satu sama lainnya. Setiap rayon, komisariat dan cabang akan memiliki
fokus yang berbeda satu dengan yang lain. Tapi setidaknya, penulis merangkum
proses penulis dalam menafsirkan arah PMII sebagai pengejawantahan dari empat
pilar. Yaitu pilar Pergerakan (P), ke-Mahasiswa-an (M), ke-Indonesia-an (I),
ke-Islam-an. Empat pilar itu jika kita kawinkan satu sama lain akan berbentuk
membentuk 16 arah. Mulai dari Pergerakan Mahasiswa (PM), Pergerakan Indonesia
(PI), Pergerakan Islam (PI) Islam Indonesia (II). Jika di bedah satu persatu
akan menjadi amat panjang disini.
Pilar Pergerakan (P), mengisyaratkan dinamika yang terus menerus
terjadi. Realisasi pilar ini merupakan manifestasi kesadaran diri sebagai
seorang hamba yang memiliki niat tulus untuk selalu mengabdi sebagai tujuan
hidupnya. Frasa pergerakan juga memberi pemaknaan bahwa ada nilai, prinsip dan
idealisme yang senantiasa harus di perjuangkan dari tatanan yang ada menuju
tatanan ideal. Penulis teringat akan sebuah nasehat yang disampaikan oleh Gus
Dur ketika penulis mewawancarai salah salah satu putrinya tentang tugas
mahasiswa. Tugas mahasiswa adalah ‘berusaha’ merubah tatanan yang ada menuju
tatanan yang ideal. Dalam buku Takashi Syiraizi, Zaman Bergerak yang
menceritakan masa-masa revolusi 1920-1928, dimana imajinasi tentang Indonesia muncul
dan didengungkan oleh banyak kaum pergerakan. Kaum pergerakan adalah perubah tatanan
kolonial menuju tatanan ideal bangsa yang merdeka.
Yang kedua adalah pilar Mahasiswa (M). Pilar ini memberi landasan
bagi PMII agar selalu memegang teguh sikap ilmiah. Ada amanat intelektualitas
dan ilmu pengetahuan dalam setiap langkah yang dilakukan. Bahwa mungkin
ber-PMII memiliki sisi-sisi politiknya sebagai tafsir pergerakan. Akan tetapi,
sikap dan sifat intelektualitas yang harus dibangun oleh setiap anggota dan
kader juga tidak boleh dihilangkan. Sikap ilmiah menunjuk kepada ‘rasa ingin
tahu, haus akan pengatetahuan dan berpijak pada objektifitas demi mencapai
kebenaran. Sisi sikap ilmiah/scientific attitude ini adalah koinsidensi
atau sisi mata uang yang tidak terpisahkan dengan akronim pergerakan yang ada
dalam kesatuan PMII.
Pilar ke-Islam-an (I), Islam yang dianut oleh PMII adalah Islam
Ahlussunah Wal Jamaah. Islam Ahlussunah wal Jamaah adalah ideologi dasar PMII
dan menjadi landasan dan arah bergerak setiap anggota dan kader yang ada. PMII
meyakini bahwa Islam yang benar yang mampu membawa keselamatan dunia dan akhirat
adalah Islam ala manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Bahwa ideologi Ahlussunah itu
tidak hanya terbatas pada persoalan ibadah yang terdiri dari ritus seperti
tahlil, diba dan ziarah kubur. Bahwa PMII meyakini, Islam Ahlussunah wal Jamaah
adalah sebuah peradaban yang terdiri dari banyak aspek meliputi ilmu
pengetahuan, politik, ekonomi dan teknologi. Bahwa fungsi ideologi adalah
meryakinkan setiap orang untuk merubah realitas[3],
oleh karena itu cita-cita atau manifestasi perjuangan PMII berada dalam koridor
ideologis kejayaan Ahlussunah Wal Jamaah. Karenanya PMII memiliki tugas besar
mengejawantahkan pilar ke Islam an tersebut.
Pilar ke-Indonesia-an (I) adalah pilar yang tidak bisa lepas dari
pilar ke Islaman. Bahwa arah PMII adalah selaras dengan arah dan cita-cita
Indonesia. PMII tidak akan berkhianat dengan memiliki cita-cita pendirian
negara Islam, misalnya. Bahwa mungkin sikap dan sifat kritis terhadap konsepsi
ke Indonesiaan harus terus digalakkan, tapi hal itu bukanlah sikap yang
berlawanan satu sama lain dengan prinsip dan nilai-nilai ke Indonesia an. Ke
Islam an dan ke Indonesia an adalah dua sisi perjuangan yang saling melengkapi
dan tidak menegasikan satu sama lain. Bahwa misi PMII adalah demi tegak dan
jayanya Islam dan Indonesia.
Dari penjelasan di atas, dua pilar terkahir penulis analogikan
sebagai objek perjuangan. Jadi ke mana arah PMII? Arah PMII adalah menerjemahkan
Pergerakan dan ke Mahasiswa an demi tegaknya Islam dan Indonesia. Hal ini menuntut
kepekaan setiap anggota dan kader dalam membaca masalah dan semangat zaman. Bukankah
sesuatu yang aneh, jika semangat suatu zaman saat ini sedang dihadapi pada masalah
perubahan iklim (climate change), jika kemudian PMII berdiskusi masalah
marxisme dan pemikiran kiri lainnya tanpa mengaitkannya dengan permasalahan
riil, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional?. Jika
diejwantahkan, sebagaimana disebut diawal, akan tercipta Pergerakan Islam/PI,
Pergerakan Indonesia/PI, Mahasiswa Islam/MI, Mahasiswa Indonesia/MI, dan dalam
jumlah yang banyak. Hal-hal seperti itu perlu diturunkan dalam serangkaian
pendidikan, kursus, diskusi, pelatihan soft/hard skill yang menunjang
terwujudnya arah dan cita-cita PMII. Pun jika tidak mungkin terlaksana semua,
hal itu harus terus diupayakan sebagaimana dalam sebuah kaidah ushul : ma la
yudroku kulluhu, la yutroku kulluhu/sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan
semuanya, jangan ditinggalkan semuanya.
Mungkin itu sebuah jawaban guna menjawab apa arah PMII? Tentu
jawaban ini tidak bermaksud dan tidak akan bisa merangkum semesta proses yang
terjadi di tubuh PMII dengan jumlah kader dan anggota dengan tingkat keragaman
yang luar biasa satu sama lainnya. Setiap kader adalah sosok yang unik, dan
kondisi di setiap kampus, kabupaten dan provinsi memiliki keberagaman yang
berbeda satu sama lainnya. Tapi, sebagai sebuah organisasi yang memiliki tujuan
membentuk insan ulul albab, bukankah ia harus punya cita-cita bersama,
kerja-kerja bersama dan memiliki kontribusi -setidaknya positif jika menilai
nyata adalah sesuatu yang terlalu berat- bagi komitmen ke-Islam-an,
ke-Indonesia-an dan pada tataran yang lebih besar adalah kemanusiaan secara
universal? Jika tidak, mungkin joke Gus Dur ‘saya ini nda tahu PMII ini makhluq
apa’ menjadi relevan untuk direnungkan bersama.[4]
Mungkin cerita dari sebuah film epik sosok Jack Sparrow dalam seri
Pirates of The Carribean relevan untuk disebutkan disini. Ketika Jack Sparrow
dan rombongannya sedang mencari harta karun trisula Poseidon. Ia bertanya, pada
seorang astronom perempuan bernama Cameron Smith yang pada saat itu dituduh
sebagai penyihir karena kemampuannya membaca bintang –dan karena ia perempuan
juga. “Kemana arah melanjutkan pelayaran untuk menemukan harta karun itu?”
tanya Jack Sparrow. Sambil ditunjuknya bintang di langit sebagai peta petunjuk,
Smith menjawab “Coba tatap bintang segitiga itu. Disana arah harta karun
terletak. Akan tetapi, hati kitalah yang akan menemukan dan membuka harta karun
terbesar itu”. Mungkin seperti itulah akhir jawabannya. Disana ada arah ideal,
akan tetapi hati masing-masing lah yang akan membuat seseorang menemukan arah
di mana harta karun sebenarnya berada. Tentu dengan kesetiaan pada proses dan
keteguhannya pada prinsip.
[2] Lihat
Dawam Rahardjo, Intelegensia, Jurnal Ulumul Quran
[3] Lihat Paul Riceour, Ideologi and Utopia
[4] Joke ini ada pada tulisan panjang Gus Dur berjudul PMII dan Tantangan Masa Depan yang disampaikan Gus Dur 39 tahun silam pada sebuah acara nasional yang diselenggarakan PB PMII. Sampai saat ini penulis masih menelusuri di buku mana tepatnya tulisan itu ada dan pada acara apa Gus Dur menyampaikan tullisannya tersebut.
Title : PMII dan Arahnya
Description : Ber-PMII adalah sebuah anugerah dalam proses panjang penulis mengarungi kehidupan ini. Ia bukan hanya mengajarkan tentang apa arti pers...
Description : Ber-PMII adalah sebuah anugerah dalam proses panjang penulis mengarungi kehidupan ini. Ia bukan hanya mengajarkan tentang apa arti pers...
0 Response to "PMII dan Arahnya"
Posting Komentar