SNT, Kaderisasi PMII
Ada satu hal penting yang penulis dapatkan ketika mengikuti
sarasehan PMII-NU waktu kemarin. Melawan Individualisme. Kata kunci
ini penting karena merupakan term penting dalam perjalanan panjang
perjuangan NU- demikian disampaikan oleh fasilitator kemarin, dan
jika PMII merupakan bagian dari NU (dan demikianlah hasil kesimpulang
sarasehan selama dua hari itu) tentunya ada benang merah mengenai
perjuangan melawan individualisme. Lalu apa sebenarnya yang hendak di
perjuangkan dan apa yang hendak dilawan? Menimbang banyak dari kader
PMII yang tidak mengikuti sarasehan tersebut, catatan ini ingin
merangkum dan mencoba pemahaman perlawanan terhadap individualisme.
Hal ini penting untuk dijiwai oleh setiap kader PMII karena merupakan
turunan tidak langsung dari karakter output kader Ulul Albab dan
pemenuhan cita-cita PMII. Dengan mencoba menggunakan argumen Islam
(manifestasi ke Islam-an dalam tetralogi PMII), penulis mencoba
mencatat dan mengembangkan telaah tersebut -tentunya dengan segala
keterbatasan.
Kita coba dengan sebuah kisah dalam dunia pendidikan Kasus ini
diangkat karena lokus kaderisasi PMII adalah dunia pendidikan tinggi.
Katakanlah ada seorang anak perempuan bernama Uyun yang berasal dari
Gunung Kidul. Ia besar di sebuah kawasan miskin-rural di Gunung
Kidul. Semenjak SD, Uyun ini terkenal sebagai anak yang cerdas dan
berprestasi. Karena itu, ia diberi beasiswa oleh pemerintah untuk
sekolah di SMP-SMA terbaik di Gunung Kidul. Sampai sehabis sekolahnya
selesai, ia tetap tampil sebagai sosok yang cerdas dan berprestasi.
Sehingga akhirnya, ia diberi beasiswa oleh pemerintah Gunung Kidul
untuk kuliah di Universitas. Tentu, karena ia merasa sebagai orang
yang cerdas dan berprestasi, ia ingin kuliah di Universitas yang
tidak berada di gnung Kidul. Ia memiliki kesempatan untuk masuk di
Universitas yang prestige. Akhrnya
ia masuk di Universitas di Ibu Kota jurusan Teknik Nuklir. Alasannya
nampak mengagumkan, ia ingin menjadi ilmuwan nuklir. Sampai sini
nampak tidak ada yang salah. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya
tepat waktu dengan biaya penuh dari pemerintah Gunung Kidul. Tentu
sebaiknya ia pulang ke asal daerahnya. Tetapi si anak ini masih belum
merasa cukup. Ia menunda keharusan pengabdiannya karena mendapat
beasiswa di kampus terbaik dunia, Harvard katakanlah. Sampai
Doktoral bahkan. Ketika ia berhasil lulus, ia mendapatkan tawaran
untuk bekerja di laboratorium nuklir di Amerika. Pada titik ini ia
mengalami dilema. Dengan tingkat pendidikannya yang tinggi dan top,
tentu ada rasa 'gimana gitu', apa yang nanti ia akan perbuat di
daerah asalnya. Apakah ilmunya-yang ia pelajari bertahun-tahun sampai
doktoral- akan dibutuhkan. Apa bukan lebih baik menerima tawaran
disini dengan gaji yang besar, Toh ia tetap mengharumkan nama daerah
dan bangsanya. Ia akan dikenal sebagai Uyun si Anak Gunung Kidul Ahli
Nuklir. Apa ada yang salah?
Nampak tak ada.
Kecuali masyarakat Gunung Kidul
yang tetap berada pada permasalahannya -entah sampai kapan, tetap
miskin dan pemerintah Gunung
Kidul yang memuja-muja sorang anak dari daerahnya. Yang entah ia
masih peduli apa tidak. Sembari pemerintah Gunung Kidul yang
terus-menerus mencari dan membiayai Uyun-Uyun lainnya. Dan
tentu (tampak) tidak salah bukan ?
---
Nahdatul Ulama adalah Jamiiyah
Diniyyah al Ijtimaiyyah.
Ada tiga prinsip dasar dari definisi sederhana ini. Jamiyyah artinya
adalah organisasi, himpunan, kumpulan orang-orang yang memiliki
cita-cita dan tujuan yang sama. Jamiyyah artinya bukan individu
semata-mata, ia tidak bergaris lurus ataupun bengkok. Diniyyah
artinya kegamaan. Landasan dasarnya adalah agama, dalam hal ini Islam
Ahlussunah wal Jamaah. Dalam prinsip dasar ini makanya tidak perlu NU
membahas dan memperdebatkan filsafat marxisme atau materialisme. Ia
sudah selesai dalam ijtihad akronim Diniyyah. Ijtimaiyyah artinya
sosial-kemasyarakatan. Artinya orientasi nya adalah masyarakat.
Tentunya dalam hal ini perbaikan segala aspek masyarakat, bukan
orientasi kekuasaan semata layaknya partai politik. PMII yang awalnya
dicitrakan sebagai kader muda NU (sebelum karut marut yang akhirnya
melahirkan independensi-dependensi-interdependensi atau berbagai
pensi-pensi lainnya), tentunya mewarisi prinsip dan semangat
tersebut.
Dari hal ini banyak yang kemudian
bisa ditarik. Seperti orang yang mengaku NU tapi sering mengejek
kyai-kyai NU. Atau orang yang mengatakan yang penting NU atau dalam
ranah yang lebih luas : yang penting Islam. Gak usah PMII-PMII an,
HMI-HMI an dlsb. Dalam nada yang sarkas bisa dibilang, aku Islam,
pribadiku Islam gak penting itu berorganisasi, ngapain si ganggu
pribadiku. Semangat identitas individunya mengalahkan semangat
jamiyyahnya. Dan secara dasar ia bertentangan dengan prinsip
Jamiyyah. Ia terjebak menjadi individu, mungkin individu yang
individualis.
Individu seperti ini tentu ada
dalam berbagai aspek. Dalam
ranah ini dan ilustrasi diatas ada dalam dunia pendidikan Indonesia
saat ini. Pendidikan yang dikritik oleh Yasraf Amir Pilliang sebagai
sistem pendidikan yang totaliter, non-demokratis, monolog dan
menmproduksi sarjana yang individualis. Alasannya karena pendidikan
di Indonesia merupakan sitem pendidikan yang di semata diimpor dari
Eropa. Ia tidak mengakomodir dialogisme yang merupakan inti
pendidikan. Bahkan ia membunuh sifat kepeloporan, kepemimpinan,
kewirausahaan, keingintahuan yang merupakan inti dari scientific
prosses & scientific attitude.
To Be Continued
Title : MELAWAN INDIVIDUALISME : Catatan Kecil Sarasehan PMII-NU
Description : SNT, Kaderisasi PMII Ada satu hal penting yang penulis dapatkan ketika mengikuti sarasehan PMII-NU waktu kemarin. Mel...
Description : SNT, Kaderisasi PMII Ada satu hal penting yang penulis dapatkan ketika mengikuti sarasehan PMII-NU waktu kemarin. Mel...
Thanks infonya. Oiya ngomongin individualisme, tahu ga sih temen-temen kalo sifat tersebut katanya bisa buat orang jadi sukses? Selengkapnya bisa temen-temen cek di sini: Sifat individualis buat orang sukses
BalasHapusOke makasih balik. Terima kasih juga atas infonya, Salam kenal!
Hapus